Rabu, 09 Mei 2012

Raden Said



Kadilangu terletak tak jauh dari Demak Jawa Tengah. Kalau anda datang dari arah Semarang, sebelum sampai ke Demak bisa mampir ke Kadilangu dulu. Udara biasanya panas, tapi orang-orang yang datang mengalir tanpa putus wajahnya begitu tulus. Memang  di sanalah terdapat makam yang “paling dikeramatkan di  Jawa Tengah”, yakni makam Sunan Kalijaga.

Raden Said/Sunan Kalijaga ini adalah putra dari Tumenggung Wilatikta dengan  Dewi Nawangrum, Tumenggung Wilatikta adalah Bupati Tuban yang ke VIII beliau masih keturunan dari Bupati Tuban yang ke II Raden Aryo Ronggolawe. Raden Said/Sunan Kalijaga ini memiliki seorang adik perempuan dengan nama Dewi Rasawulan. Kelak Dewi Rasawulan ini menikah dengan Raden Jaka Supa.

Raden Jaka Supa adalah keturunan Empu keraton Majapahit, yaitu Ki Pitrang/Ki Supa Mandrangi /Pangeran Sedayu. Raden Jaka Supa adalah arsitek keris Kyai Naga Sasra dan Keris Kyai Sabuk Inten yang terkenal itu.

Sesungguhnya, Keris Kyai Naga Sasra maupun Keris Kyai Sabuk Inten, adalah sebuah simbol semata. Naga Sasra berasal dari bahasa sanskerta Nagha Sahasrara yang berarti Seribu Naga. Ini melambangkan banyaknya kekuatan-kekuatan laten Majapahit yang masih memiliki kekuatan militer dan masih memiliki pengaruh besar dipelosok Nusantara.

Sedangkan Sabuk Inten berarti Ikat Pinggang Intan yang melambangkan para investor ekonomi lokal maupun mancanegara sebagai sumber keuangan yang sangat menentukan perputaran roda perekonomian negara.

Raden Jaka Supa bukan orang sembarangan. Ayahandanya, Ki Pitrang/Ki Supa Mandrangi, sangat berpengaruh didalam negeri Majapahit dan mancanegara waktu Majapahit masih berdiri. Pekerjaannya sebagai penyedia persenjataan militer negara, menjadikan Ki Pitrang banyak memiliki relasi.

Apabila anda pernah dengar sebuah pedang kuno yang menjadi kebanggaan Dr. Sun Yat Sen, pendiri Taiwan yang bernama Pit-Kang, sesungguhnya pedang tersebut adalah hasil tempaan Ki Pitrang, sehingga namanya pun masih disebut Pitrang walaupun dalam logat China. Pedang ini masih disimpan di Taiwan. Pedang tersebut adalah hadiah Raja Majapahit kepada Kaisar Tiongkok. Dan tidak tahu bagaimana ceritanya, pedang kuno yang berasal dari Majapahit tersebut bisa dibawa lari oleh Dr. Sun Yat Sen ke Taiwan setelah Tiongkok berhasil dikuasai kaum komunis.

Kebesaran nama Ki Pitrang inilah, menjadikan Raden Jaka Supa, sebagai anak laki-laki satu-satunya dari istri yang berasal dari Majapahit ( seorang lagi, istri Ki Pitrang berasal dari Blambangan. Dari istri Blambangan ini, beliau mempunyai seorang putra bernama Jaka Sura, yang meninggal sewaktu berusia belia. Praktis, putra Ki Pitrang tinggal Raden Jaka Supa. : Damar Shashangka), sangat disegani. Para sisa-sisa Bangsawan Majapahit, yang masih memiliki pengaruh dalam bidang ekonomi maupun militer dan masih banyak tersebar di beberapa pelosok Nusantara serta yang disimbolkan dengan Keris Kyai Naga Sasra, ditambah para investor asing yang disimbolkan dengan Keris Kyai Sabuk Inten, sangat-sangat menghormati Raden Jaka Supa adik ipar dari  Raden Said. : Damar Shashangka).

Kelak Raden Jaka Supa dan Raden Said ini akan bahu-membahu membantu berdirinya kerajaan Islam Demak Bintara beserta penerusnya dan penyebaran agama  Islam di tanah Jawa.

Raden Said kecil hidup terdidik dalam lingkungan istana Bupati Tuban. Pada dasarnya beliau memang gandrung terhadap ilmu dan selalu tanggap waskita. Kepiawaian, kecerdasan, dan kepekaan Raden Said terhadap kandungan ilmu tuwa pun menjadi buah bibir para ulama sepuh, pujanggah, dan pinisepuh istana Tuban. Adapun apa saja yang diajarkan para guru maupun pinisepuh istana, mampu diselesaikan hingga tamat oleh Raden Said. Selain berguru pada pinisepuh dan orang-orang yang didatangkan oleh ayahhandanya, Raden Said juga berguru pada wong kang linuweh di luar istana.

Pergaulan Raden Said di luar istana, dan melihat keadaan rakyat yang serba kesulitan. Situasi yang tidak menentu setelah perang perebutan kekuasaan di Majapahit oleh Raden Patah dari Demak Bintara maupun Girindrawardhana dari Keling, Kedhiri (tahun 1466-1473 M). Telah membuat kehidupan rakyat Tuban menjadi sulit. Penarikan upeti sembarangan guna membiayai perang melawan pemberontak dalam kerajaan Majapahit membuat rakyat semakin terjepit. Kekurangan kebutuhan hidup menjadi pemandangan sehari-hari yang memilukan di wilayah itu. Bagi Raden Said muda, kepasrahan tidaklah cukup untuk mengatasi kesulitan hidup di masyarakat kecil, apalagi banyak munculnya kriminalitas yang meresahkan masyarakat. Ia harus bertindak walaupun itu perbuatan yang tercela dan ia harus menanggung resikonya, diusir dari istana karena aksi nekat mencuri bahan makanan yang disimpan di gudang istana,  yang dapat digagalkan oleh petugas. Segala aksi begal di luar istana ia jalani demi membantu rakyat kecil. Mulai merampok upeti, menjarah harta pejabat-pejabat kecil desa, dan membagikanya kepada rakyat miskin. Selain merampok ia juga menyadarkan perampok-perampok lainnya agar tidak menggangu rakyat miskin. Oleh karena itu ia mendapat gelar si maling aguna atau berandal Lokajaya, atau perampok budiman. Ia sangat di segani oleh perampok lainnya, selalu berempati terhadap kaum tak berpunya. Walau dalam hati Raden Said menyadari mungkin itu semua salah dan dilarang menurut ilmu yang ia pelajari dari guru-gurunya di istana.

Ketika berandal Lokajaya menjadi semakin menjadi dan menguasai wilayah hutan Glagah Wangi, tak jauh dari kadipaten Demak yang baru berdiri. Ia di datangi oleh ulama besar anak sulung dari Sunan Ampel Denta yaitu Maulana Makdum Ibrahim/Sunan Bonang yang sedang dalam perjalanan menuju ke Demak Bintara. Menurut silsilah dari keturunan Ronggolawe/Bupati Tuban II, Raden Aryo Adikoro Bupati Tuban VI, adalah cicit dari Ronggolawe ini mempunyai dua putra, Raden Ayu Aryo Tejo dan Kyai Ageng Graseh. Raden Ayu Aryo Tejo (putri) menikah dengan Syeh Ngabdurahman (putra) dari Syeh Jali/Kyai Makam Dawa/Ngalimurtala dari Gresik (saudara dari Sunan Ampel Denta). Syeh Ngabdurahman menjadi Bupati Tuban yang ke VII dengan gelar Raden Aryo Tejo. Dan Raden Aryo Tejo ini digantikan  oleh putranya yaitu Raden Aryo Wilantikta atau ayah dari Raden Said, menjadi Bupati Tuban yang ke VIII. Jadi Raden Said masih kerabat dekat dengan Syeh Maulana Makdum Ibrahim/Sunan Bonang.

Berbagai kisah telah diceritakan tentang pertemuan antara Raden Said dengan Sunan Bonang. Akhirnya Raden Said menginsafi perbuatannya dan beliau diangkat oleh Sunan Bonang menjadi muridnya setelah diberi wejangan (ilmu) tentang wawasan berketuhanan dan dinamika masyarakat di masa itu. Tugas utama Raden Said adalah “Njogo kali”, atau menjaga aliran kepercayaan di tengah masyarakat yang sudah heterogen. Tongkat perlambang petunjuk jalan yang diharapkan kelak masyarakat tidak akan lagi tersesat, dan tetap memegang prinsip-prinsip Islami (Al Quran dan Hadist Nabi). Walau cara berdakwah nantinya akan menghadapi budaya lokal yang telah bercokol kuat, diharapkan tidak menimbulkan konflik yang berlarut-larut. “Sungai akan selalu mengalir, sedang noda yang menempel akan hilang dengan sendirinya” ujar Sunan Bonang kepada Sunan Kalijaga. Sepeninggal Sunan Bonang, Raden Said pun diangkat menjadi Sunan dengan gelar Kalijaga, seperti maksud dan tujuan, yang telah diuraikan.

Sekilas memang tampak ada sisi kebadungan dari Raden Said ini, yang justru menjadi orisinil dan sangat penting bagi kelanjutan penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Selain itu juga Raden Said merupakan wali yang sangat vital, sebagai penghubung legitimasi kekuasaan dari Majapahit ke Mataram Hadiningrat. Perseteruan antara Sunan Kudus dan Giri Kedaton dalam penerus tahta kerajaan Demak sepeninggal Sultan Trenggana akhirnya dapat diredam dengan kemenangan dari murid Sunan Kalijaga, Hadiwijaya (menantu Sultan Trenggana) melawan Arya Penangsang (keponakan Sultan Trenggana) jago dari Sunan Kudus. Dengan bantuan dari Ki Ageng Pamanahan beserta putranya Panembahan Senopati akhirnya Aryo Penangsang gugur di medan perang pada tahun 1549 M. Dengan naiknya Hadiwijaya (atas restu Sunan Giri Prapen) sebagai Sultan di Pajang pengaruh Kudus sudah mulai berangsur-angsur surut. Pengaruh besar Sunan Kalijaga ini tak tepas juga dari strategi Sultan Trenggana yang menikahkan Raden Said/Sunan Kalijaga dengan putri orang suci dari tlatah kulon Sunan Gunung Jati, meminjam wibawa (istilahnya) dari Sunan Gunung Jati untuk menandingi wibawa Sunan Kudus di lingkungan kerajaan Demak Bintara.

Setelah kerajaan Demak jatuh, penerusnya Hadiwijaya (Pajang) tidak memiliki pengganti yang kuat di bidang pemerintahan. Sunan Kalijaga menunjuk Panembahan Senopati (Sutawijaya) sebagai penerus dari Sultan Hadiwijaya dan membujuk anak dari  Hadiwijaya yang juga salah satu muridnya yaitu, Sunan Benawa untuk meninggalkan urusan duniawi dan memilih menjadi ulama, dengan menumbuh suburkan pesantren-pesantren di tanah Jawa. Sunan Benawa ini patut untuk dijuluki bapak pesantren di Indonesia.

Pemberontakan Ki Ageng Pengging (ayah Hadiwijaya) terhadap Dewan Walisanga Demak. (intervensi dari ajaran Syeh Lemah Abang yang juga guru dari Ki Ageng Pengging). Dapat diselesaikan walau dengan berat hati. Ki Ageng Pengging/Kebo Kenanga dan para pengikut Syeh Lemah Abang harus mengakhiri (hidupnya) jika menolak ultimatum yang diberikan Walisanga untuk bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Walaupun pengikut Syeh Siti Jenar sudah surut namun pokok-pokok ajaran(nya) masih menjadi bahan perdebatan hingga saat ini.

Dalam berkompromi dengan para Wali lainnya, terutama yang paling keras perlawanan dari Sunan Kudus maupun Sunan Giri. Sunan kalijaga yang sangat kreatif, mengubah boneka wayang yang semula tiga dimensi menjadi dua dimensi (wayang kulit) supaya tidak seperti patung (yang di Saudi Arabia hal itu biasa dianggap berhala). Beserta sarananya, keber (kain putih), debog (batang pisang), kotak kayu, yang semuanya memiliki makna tersendiri. Dalam pembangunan Masjid DemakSunan Kalijaga pun turut berperan mendirikan tiang penyangga, yang berbeda dengan tiang-tiang lainnya. Karena tiang tersebut bukanlah terbuat dari bahan (kayu) yang utuh, melainkan kayu yang sudah disambung-sambung atau Saka Tatal. hingga saat ini Saka Tatal masih kuat menyangga Masjid Demak. Saka Tatal mungkin makna/simbol dari penyebaran agama Islam di tanah Jawa.

Upaya yang telah dilakukan oleh Raden Said/Sunan Kalijaga dalam penyebaran agama Islam baik kultural maupun struktural telah berhasil dengan baik, setidaknya mampu menghindari konflik dengan budaya lama yang telah bercokol kuat di Bumi Nusantara

Catatan kaki
1.      Sembilan Wali dan Siti Senar, SGA 2007, Hlm 119-131.
2.      Sunan Kalijaga, Wawan Susetya, Diva Press 2009, Hlm 10-13
3.      Ki Ageng Mangir, Sugeng Pramana, Gelombang Pasang 2006, Hlm 213-220
4.      Damar Shashangka, Blog,

Tidak ada komentar :

Posting Komentar