Merujuk Koentjaraningrat, budaya Jawa adalah budaya yang timbul dan tumbuh dalam kehidupan etnis (suku bangsa ) Jawa,
biasanya bermukim di kawasan Jawa Tengah maupun di Jawa Timur. Kebudayaan Jawa
tidak biasa dipisahkan dengan pengaruh kerajaan Mataram, sebelum terpecah
menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasuhunan Surakarta. Sementara itu Marbangun Harjowirogo
tidak memberi batasan spesial terhadap orang yang disebut sebagai orang Jawa. Menurutnya, mereka
yang berpikir dan berperasaan seperti moyang mereka di Jawa Tengah maupun Jawa Timur
sebagai pusat-pusat kebudayaan, baik yang berada di pulau Jawa maupun yang
tinggal di luar pulau bahkan di Negara lain.
Orang Jawa di jaman kolonialisme
berkelompok menjadi beberapa golongan berdasarkan status sosial yaitu wong cilik rata-rata kaum petani dan
buruh. Juga golongan priyai termasuk
pegawai /ningrat/kaum intelektual dan kaum saudagar pribumi. Disamping lapisan
sosial ekonomi itu, masih dibedakan pula atas dasar keagamaan meskipun secara
nominal juga beragama Islam namun berbeda cara penghayatannya. Menurut Clifford
Greertz kelompok ini dipisahkan menjadi dua golongan, yang pertama adalah Islam
Kejawen atau kaum Abangan. Golongan kedua adalah orang-orang Jawa yang berusaha
untuk hidup menurut ajaran agama Islam atau golongan Santri.
Dalam sistem kekeluargaan,
masyarakat tidak mengenal sistem marga. Meskipun demikian, hubungan
kekeluargaan di luar keluarga inti dianggap penting. Demikian juga keturunan
dari seorang nenek moyang yang sama merupakan faktor penting dalam masyarakat Jawa
dan dianggap sebagai kelompok yang termasuk kerabat. Setiap orang Jawa melihat
dirinya sendiri berada di tengah-tengah sebuah tatanan jajaran: kakek-nenek,
bapak-ibu, kakak-adik, dan cucu-cucu.
Bagi individu Jawa, keluarga
merupakan sarang keamanan dan sumber perlindungan. Dalam keluarga, hubungan
antara anggotanya diharapkan berlandaskan rasa cinta (tresna). Di dalam rasa tresna
itu nampak apabila orang tidak merasa isin
satu sama lainnya. Sebab bagi perasaan Jawa, perbedaan yang berarti secara
psikologis adalah perbedaan keakraban (tresna)
dan hubungan yang menuntut sikap hormat. Hanya di dalam keluarga sajalah
suasana akrab ideal, kurang lebih terwujud.
Di dalam keluarga pulalah orang Jawa
belajar mengembangkan keutamaan-keutamaan seperti belas kasihan, kebaikan,
kemurahan hati, kemampuan untuk menangkap kegelisahan orang lain, rasa tanggung
jawab sosial, keprihatinan terhadap sesama dan semacamnya. Keluarga adalah
tempat berkembangnya suatu perasaan moral praktis yang teramat mendalam, yang
tidak memerlukan legitimasi teoritis. Keluarga bagi orang Jawa merupakan guru
pertama yang mengajarkan bagaimana ia harus berperasaan, berpikir, dan bersikap
menghadapi realitas. Oleh karena itu
seorang ibu Jawa diharapkan mampu
mendidik anak-anaknya sekaligus memberi rasa tresna dan rasa aman. Mereka itulah yang memberikan kepadanya
kesejahteraan emosional serta titik keseimbangan dalam orentasi sosial. Di sini
proses sosialisasi merupakan suatu proses berkesinambungan di sepanjang sejarah
kehidupan pribadinya. Keluarga terdekat itulah yang dengan tegur sapanya dari
hari ke hari lewat peragaan kongkret dalam sikap keseharian mereka, menjaga
agar anak tidak terlalu jauh menyeleweng dari rel kaidah-kaidah budaya mereka.
Perkembangan anak benar-benar tergantung pada lingkungan mereka.
Apabila orang Jawa telah dewasa,
maka ia telah membatinkan bahwa kesejahteraanya bahkan eksistensinya tergantung
pada kesatuan kelompoknya. Dengan demikian, secara piskologis, orang Jawa
membutuhkan dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa, yaitu kerukunan dan prinsip hormat. Rukun secara psikologis diterjemahkan
di dalam keadaan dimana tidak terdapat perasaan-perasaan negative, yaitu suatu
keadaan yang aman dan tentram. Prinsip rasa hormat adalah setiap orang dalam
bersikap dan membawa diri dalam hal pola interaksi dalam masyarakat Jawa.
Prinsip ini mengatakan bahwa setiap orang dalam bersikap dan membawa diri serta
dalam cara berbicara, hendaknya selalu harus memperlihatkan sikap hormat
terhadap orang lain sesuai derajat dan kedudukannya.
Dalam prinsip hormat ini, bahasa
memainkan peranan yang penting, sebab dalam pemakaiannya, mengungkapkan tatanan
yang ada. Penggunaan bahasa Jawa mengandaikan kesadaran akan kedudukan sosial
masing-masing. Dan dalam kefasihannya menggunakan sikap-sikap hormat yang
tepat, seorang Jawa mengembangkan sejak kecil lewat pendidikan keluarga,
terutama dari sang ibu, khususnya dalam hal tatakrama. Sebab dalam pemeliharaan
bentuk tatakrama yang terwujud dalam sikap tubuh, isi dan bentuk pembicaraan
itu dimaksudkan untuk menciptakan situasi yang tenang dan mantap di segala
bidang hubungan sosial yang ada, serta berlaku pula sebagai kekuatan pemersatu
yang kuat dalam masyarakat Jawa.
Dalam bukunya Etika Jawa, Magnis Suseno
mengutip pandangan Hildred Greertz yang mengatakan bahwa pendidikan mengenai kefasihan
menggunakan sikap-sikap hormat yang tepat itu tercapai melalui tiga perasaan
yang dipelajari oleh anak Jawa dalam situasi-situasi yang mengharuskan sikap
hormat kepada orang lain. Yaitu menjadi wedi
(takut), isin (malu), dan sungkan (rasa segan, sopan, hormat). Wedi, isin, sungkan merupakan suatu kesinambungan
perasaan-perasaan yang mempunyai fungsi sosial untuk memberi dukungan
psikologis terhadap tuntutan-tuntutan prinsip hormat.
Bagi orang Jawa, seseorang yang
sungguh-sungguh bijaksana yaitu orang yang telah sampai pada “rasa” yang
sebenarnya dapat dikenali karena kehalusannya. Kehalusan bathiniah adalah
apabila seseorang mempunyai sifat-sifat yang
luhur, mampu mengendalikan hawa nafsunya, berbudi, kuat tapa dan
matiraganya. Kehalusan seperti itu menampakan diri dalam sopan-santun berbahasa, dalam sikap pergaulan, dalam hidup
religius, dalam pekerjaan dan aspek-aspek kehidupan lainnya.
Kehalusan dalam pemakaian bahasa
adalah pemilihan kata-kata yang tepat dan cocok untuk dipergunakan terhadap
siapa ia sedang berhadapan dan berbicara. Dalam bahasa Jawa, ada tingkatan
pokok yang menjadi landasan untuk menerapkan ketepatan pemakaian tersebut.
Tingkatan ini adalah bahasa Jawa ngoko,
kromo, dan kromo inggil.
Kehalusan lain yang terwujud pada
sikap seorang Jawa adalah kehalusan dalam pergaulannya. Disamping kemampuan
memakai bahasa yang tepat, juga ditekankan keharusan sikap hormat atau andap asor (rendah hati) yang memainkan
peran penting dalam pergaulan. Orang Jawa mengidentikkan ketinggian seseorang
dengan pangkatnya. Semakin tinggi pangkat seseorang, makin ia dihormati atau
dihargai.
Salah satu bentuk tata sopan-santun atau basa-basi pergaulan juga dinilai positif adalah kemampuan orang Jawa untuk bersikap ethok-ethok (pura-pura). Ethok-ethok itu diperlihatkan di luar lingkungan keluarganya itu merupakan cara seseorang Jawa untuk tidak memperlihatkan perasaan-perasaan sebenarnya dalam pergaulan demi menjaga ketertiban agar tetap berlangsung. Rasa benci, marah, sedih, tak puas, dan semacam itu sedapat-dapatnya disembunyikan. Orang Jawa diharapkan untuk menghindari keterus-terangan yang serampangan
Dalam dunia batin orang Jawa
idealnya memiliki sikap sepi ing pamrih,
suatu sikap yang tak ingin memaksakan kehendak dan kepentingannya sendiri tanpa
memperhatikan kepentingan sesama, yang mengandung sikap eling, sabar, dan nrimo. Sikap eling adalah sikap yang selalu ingat asal-usulnya. Bahwa ia berasal
dari Yang Illahi dan dengan rendah hati tahu siapa dirinya, dan termasuk didalamnya adalah sikap mawas diri dan
sekaligus bangga akan asal-usulnya. Sikap sabar terwujud dalam keadaan yang
tidak tergesa-gesa, tidak khawatir dalam menghadapi sesuatu. Memiliki kesadaran
akan terjadinya segala sesuatu itu sebagaimana memang semestinya sudah harus
terjadi. Bagi orang Jawa masalah waktu tidak menjadi persolan penting, yang
lebih penting adalah tercapainya suatu tujuan, alon alon waton kelakon.
Sikap nrimo bukan berarti asal menerima saja nasib yang menimpanya tetapi
memiliki arti yang lebih mendalam. Meskipun menderita misalnya, tetapi tetap
bereaksi secara wajar dan bisa membawa diri dalam situasi seperti itu, dan
menunjukan suatu kemampuan batin untuk
menerima keadaan. Jadi bukan nrimo
dalam arti kepasrahan terhadap nasib dalam ketidakberdayaan dan keputusasaan.
Kemudian sikap ikhlas merupakan suatu batin yang merelakan apa saja. Tidak
egois dan tidak rakus, tercermin dalam budi luhur dimana antara lain mempunyai
kesanggupan untuk bersedia melepaskan apa saja yang dimilikinya atau apa yang
merupakan kemampuan jika itu menjadi tuntutan tanggung jawab atau nasibnya.
Demikianlah sosok manusia Jawa
yang begitu komplet dengan tingkatan bahasa yang menonjol, seolah memberi kesan
harus berfikir dulu sebelum melangkah. Selalu mengambil sikap memenuhi
kewajiban untuk menjaga tatanan dan keselarasan, baik dengan dirinya sendiri
maupun dengan sesamanya dengan realitas yang dihadapai. Upacara ritual adat Jawa selalu
ditujukan sebagai ungkapan puji syukur masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Catatan Kaki
1. Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka 1985
2. Marbangun Hardjowirogo, Manusia Jawa, Jakarta: Idayu Press 1984
3. Geertz, Hildred, Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Press 1983
4. Frans Magnis Suseno, Etika Jawa, Jakarta: Gramedia 1984
5. Arifin Suryo N. Biografi Hartini Soekarno, Yogyakarta: Ombak 2009
Tidak ada komentar :
Posting Komentar