Kadilangu terletak tak jauh dari Demak Jawa Tengah. Kalau
anda datang dari arah Semarang, sebelum sampai ke Demak bisa mampir ke Kadilangu
dulu. Udara biasanya panas, tapi orang-orang yang datang mengalir tanpa putus
wajahnya begitu tulus. Memang di sanalah
terdapat makam yang “paling dikeramatkan di
Jawa Tengah”, yakni makam Sunan Kalijaga.
Raden Said/Sunan Kalijaga ini adalah putra
dari Tumenggung Wilatikta dengan Dewi Nawangrum,
Tumenggung Wilatikta adalah Bupati Tuban yang ke VIII beliau masih keturunan
dari Bupati Tuban yang ke II Raden Aryo Ronggolawe. Raden Said/Sunan Kalijaga
ini memiliki seorang adik perempuan dengan nama Dewi Rasawulan. Kelak Dewi Rasawulan
ini menikah dengan Raden Jaka Supa.
Raden Jaka Supa adalah keturunan Empu keraton
Majapahit, yaitu Ki Pitrang/Ki Supa Mandrangi /Pangeran Sedayu. Raden
Jaka Supa adalah arsitek keris Kyai Naga Sasra dan Keris
Kyai Sabuk Inten yang terkenal itu.
Sesungguhnya, Keris Kyai Naga Sasra
maupun Keris Kyai Sabuk Inten, adalah sebuah simbol semata.
Naga Sasra berasal dari bahasa sanskerta Nagha Sahasrara yang berarti Seribu
Naga. Ini melambangkan banyaknya kekuatan-kekuatan laten Majapahit yang masih
memiliki kekuatan militer dan masih memiliki pengaruh besar dipelosok Nusantara.
Sedangkan Sabuk Inten berarti Ikat Pinggang Intan
yang melambangkan para investor ekonomi lokal maupun mancanegara sebagai sumber
keuangan yang sangat menentukan perputaran roda perekonomian negara.
Raden Jaka Supa bukan orang sembarangan.
Ayahandanya, Ki Pitrang/Ki Supa Mandrangi, sangat berpengaruh didalam
negeri Majapahit dan mancanegara waktu Majapahit masih berdiri. Pekerjaannya
sebagai penyedia persenjataan militer negara, menjadikan Ki Pitrang banyak
memiliki relasi.
Apabila anda pernah dengar sebuah pedang kuno yang menjadi kebanggaan Dr. Sun Yat Sen, pendiri Taiwan yang bernama Pit-Kang, sesungguhnya pedang tersebut adalah hasil tempaan Ki Pitrang, sehingga namanya pun masih disebut Pitrang walaupun dalam logat China. Pedang ini masih disimpan di Taiwan. Pedang tersebut adalah hadiah Raja Majapahit kepada Kaisar Tiongkok. Dan tidak tahu bagaimana ceritanya, pedang kuno yang berasal dari Majapahit tersebut bisa dibawa lari oleh Dr. Sun Yat Sen ke Taiwan setelah Tiongkok berhasil dikuasai kaum komunis.
Kebesaran nama Ki Pitrang inilah, menjadikan
Raden Jaka Supa, sebagai anak laki-laki satu-satunya dari istri yang berasal
dari Majapahit ( seorang lagi, istri Ki Pitrang berasal dari Blambangan.
Dari istri Blambangan ini, beliau mempunyai seorang putra bernama Jaka Sura,
yang meninggal sewaktu berusia belia. Praktis, putra Ki Pitrang tinggal Raden
Jaka Supa. : Damar Shashangka), sangat disegani. Para sisa-sisa Bangsawan
Majapahit, yang masih memiliki pengaruh dalam bidang ekonomi maupun militer dan
masih banyak tersebar di beberapa pelosok Nusantara serta yang disimbolkan
dengan Keris Kyai Naga Sasra, ditambah para investor asing
yang disimbolkan dengan Keris Kyai Sabuk Inten, sangat-sangat
menghormati Raden Jaka Supa adik ipar dari
Raden Said. : Damar Shashangka).
Kelak Raden Jaka Supa dan Raden Said ini akan bahu-membahu
membantu berdirinya kerajaan Islam Demak Bintara beserta penerusnya dan
penyebaran agama Islam di tanah Jawa.
Raden Said kecil hidup terdidik dalam
lingkungan istana Bupati Tuban. Pada dasarnya beliau memang gandrung terhadap
ilmu dan selalu tanggap waskita. Kepiawaian, kecerdasan, dan kepekaan Raden
Said terhadap kandungan ilmu tuwa pun menjadi buah bibir para ulama sepuh,
pujanggah, dan pinisepuh istana Tuban. Adapun apa saja yang diajarkan para guru
maupun pinisepuh istana, mampu diselesaikan hingga tamat oleh Raden Said.
Selain berguru pada pinisepuh dan orang-orang yang didatangkan oleh
ayahhandanya, Raden Said juga berguru pada wong kang linuweh di luar istana.
Pergaulan Raden Said di luar istana, dan melihat
keadaan rakyat yang serba kesulitan. Situasi yang tidak menentu setelah perang perebutan
kekuasaan di Majapahit oleh Raden Patah dari Demak Bintara maupun Girindrawardhana
dari Keling, Kedhiri (tahun 1466-1473 M). Telah membuat kehidupan
rakyat Tuban menjadi sulit. Penarikan upeti sembarangan guna membiayai perang
melawan pemberontak dalam kerajaan Majapahit membuat rakyat semakin terjepit.
Kekurangan kebutuhan hidup menjadi pemandangan sehari-hari yang memilukan di
wilayah itu. Bagi Raden Said muda, kepasrahan tidaklah cukup untuk
mengatasi kesulitan hidup di masyarakat kecil, apalagi banyak munculnya kriminalitas
yang meresahkan masyarakat. Ia harus bertindak walaupun itu perbuatan yang
tercela dan ia harus menanggung resikonya, diusir dari istana karena aksi nekat
mencuri bahan makanan yang disimpan di gudang istana, yang dapat digagalkan oleh petugas. Segala aksi
begal di luar istana ia jalani demi membantu rakyat kecil. Mulai merampok
upeti, menjarah harta pejabat-pejabat kecil desa, dan membagikanya kepada
rakyat miskin. Selain merampok ia juga menyadarkan perampok-perampok lainnya
agar tidak menggangu rakyat miskin. Oleh karena itu ia mendapat gelar si maling
aguna atau berandal Lokajaya, atau perampok budiman. Ia sangat di segani oleh perampok
lainnya, selalu berempati terhadap kaum tak berpunya. Walau dalam hati Raden
Said menyadari mungkin itu semua salah dan dilarang menurut ilmu yang ia
pelajari dari guru-gurunya di istana.
Ketika berandal Lokajaya menjadi semakin menjadi
dan menguasai wilayah hutan Glagah Wangi, tak jauh dari kadipaten Demak yang
baru berdiri. Ia di datangi oleh ulama besar anak sulung dari Sunan Ampel Denta
yaitu Maulana Makdum Ibrahim/Sunan Bonang yang sedang dalam perjalanan
menuju ke Demak Bintara. Menurut silsilah dari keturunan Ronggolawe/Bupati Tuban
II, Raden Aryo Adikoro Bupati Tuban VI, adalah cicit dari Ronggolawe ini mempunyai dua putra, Raden Ayu Aryo Tejo dan Kyai Ageng Graseh. Raden Ayu Aryo Tejo (putri)
menikah dengan Syeh Ngabdurahman (putra) dari Syeh Jali/Kyai Makam Dawa/Ngalimurtala
dari Gresik (saudara dari Sunan Ampel Denta). Syeh Ngabdurahman menjadi Bupati Tuban
yang ke VII dengan gelar Raden Aryo Tejo. Dan Raden Aryo Tejo ini digantikan oleh putranya yaitu Raden Aryo Wilantikta
atau ayah dari Raden Said, menjadi Bupati Tuban yang ke VIII. Jadi Raden Said masih kerabat
dekat dengan Syeh Maulana Makdum Ibrahim/Sunan Bonang.
Berbagai kisah telah diceritakan tentang
pertemuan antara Raden Said dengan Sunan Bonang. Akhirnya Raden Said menginsafi perbuatannya dan beliau diangkat
oleh Sunan Bonang menjadi muridnya setelah diberi wejangan (ilmu) tentang wawasan berketuhanan
dan dinamika masyarakat di masa itu. Tugas utama Raden Said adalah “Njogo kali”,
atau menjaga aliran kepercayaan di tengah masyarakat yang sudah heterogen.
Tongkat perlambang petunjuk jalan yang diharapkan kelak masyarakat tidak akan
lagi tersesat, dan tetap memegang prinsip-prinsip Islami (Al Quran dan Hadist
Nabi). Walau cara berdakwah nantinya akan menghadapi budaya lokal yang telah
bercokol kuat, diharapkan tidak menimbulkan konflik yang berlarut-larut. “Sungai
akan selalu mengalir, sedang noda yang menempel akan hilang dengan sendirinya”
ujar Sunan Bonang kepada Sunan Kalijaga. Sepeninggal Sunan Bonang, Raden Said
pun diangkat menjadi Sunan dengan gelar Kalijaga, seperti maksud dan tujuan,
yang telah diuraikan.
Sekilas memang tampak ada sisi kebadungan dari Raden
Said ini, yang justru menjadi orisinil dan sangat penting bagi kelanjutan
penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Selain itu juga Raden Said merupakan wali
yang sangat vital, sebagai penghubung legitimasi kekuasaan dari Majapahit ke Mataram Hadiningrat. Perseteruan antara Sunan Kudus dan Giri Kedaton dalam penerus
tahta kerajaan Demak sepeninggal Sultan Trenggana akhirnya dapat diredam dengan
kemenangan dari murid Sunan Kalijaga, Hadiwijaya (menantu Sultan Trenggana)
melawan Arya Penangsang (keponakan Sultan Trenggana) jago dari Sunan Kudus.
Dengan bantuan dari Ki Ageng Pamanahan beserta putranya Panembahan Senopati
akhirnya Aryo Penangsang gugur di medan perang pada tahun 1549 M. Dengan naiknya Hadiwijaya (atas
restu Sunan Giri Prapen) sebagai Sultan di Pajang pengaruh Kudus sudah mulai berangsur-angsur
surut. Pengaruh besar Sunan Kalijaga ini tak tepas juga dari strategi Sultan Trenggana
yang menikahkan Raden Said/Sunan Kalijaga dengan putri orang suci dari tlatah kulon Sunan
Gunung Jati, meminjam wibawa (istilahnya) dari Sunan Gunung Jati untuk
menandingi wibawa Sunan Kudus di lingkungan kerajaan Demak Bintara.
Setelah kerajaan Demak jatuh, penerusnya Hadiwijaya (Pajang)
tidak memiliki pengganti yang kuat di bidang pemerintahan. Sunan Kalijaga menunjuk
Panembahan Senopati (Sutawijaya) sebagai penerus dari Sultan Hadiwijaya dan membujuk
anak dari Hadiwijaya yang juga salah satu muridnya yaitu, Sunan Benawa untuk meninggalkan
urusan duniawi dan memilih menjadi ulama, dengan menumbuh suburkan
pesantren-pesantren di tanah Jawa. Sunan Benawa ini patut untuk dijuluki bapak
pesantren di Indonesia.
Pemberontakan Ki Ageng Pengging (ayah Hadiwijaya)
terhadap Dewan Walisanga Demak. (intervensi dari ajaran Syeh Lemah Abang yang
juga guru dari Ki Ageng Pengging). Dapat diselesaikan walau dengan berat hati. Ki
Ageng Pengging/Kebo Kenanga dan para pengikut Syeh Lemah Abang harus
mengakhiri (hidupnya) jika menolak ultimatum yang diberikan Walisanga untuk
bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Walaupun pengikut Syeh Siti Jenar
sudah surut namun pokok-pokok ajaran(nya) masih menjadi bahan perdebatan hingga
saat ini.
Dalam berkompromi dengan para Wali lainnya,
terutama yang paling keras perlawanan dari Sunan Kudus maupun Sunan Giri. Sunan
kalijaga yang sangat kreatif, mengubah boneka wayang yang semula tiga dimensi menjadi
dua dimensi (wayang kulit) supaya tidak seperti patung (yang di Saudi Arabia hal itu
biasa dianggap berhala). Beserta sarananya, keber (kain putih), debog (batang
pisang), kotak kayu, yang semuanya memiliki makna tersendiri. Dalam pembangunan Masjid
Demak, Sunan Kalijaga pun turut berperan mendirikan
tiang penyangga, yang berbeda dengan tiang-tiang lainnya. Karena tiang tersebut
bukanlah terbuat dari bahan (kayu) yang utuh, melainkan kayu yang
sudah disambung-sambung atau Saka Tatal. hingga saat ini Saka Tatal masih kuat
menyangga Masjid Demak. Saka Tatal mungkin makna/simbol dari penyebaran agama Islam di tanah Jawa.
Upaya yang telah dilakukan oleh Raden Said/Sunan
Kalijaga dalam penyebaran agama Islam baik kultural maupun struktural telah
berhasil dengan baik, setidaknya mampu menghindari konflik dengan budaya lama yang
telah bercokol kuat di Bumi Nusantara
Catatan kaki
1. Sembilan
Wali dan Siti Senar, SGA 2007, Hlm 119-131.
2. Sunan
Kalijaga, Wawan Susetya, Diva Press 2009, Hlm 10-13
3. Ki
Ageng Mangir, Sugeng Pramana, Gelombang Pasang 2006, Hlm 213-220
4. Damar
Shashangka, Blog,