Minggu, 14 Juli 2013

Memahami Mistisisme




        

Untuk istilah Mistik (Ghaib) seringkali kita dengar untuk sekedar mengatakan itu sesuatu dimensi yang berada di luar jangkauan pemikiran rasional manusia. Terkadang terminologi suatu wacana tekstual secara tidak sengaja menghanyutkan kesadaran kritis, Sehingga (sering) abai terhadap pembeda hakekat dari sebuah teks, yang pada akhirnya terjebak pemaknaan tekstual secara harafiah dan dangkal: teks hanya di pahami sebagai praksis semata-mata.    

      
Maka dari itu diperlukan melatih kesadaran dengan method hermeneutic, juga dipastikan sensitif sejak awal terhadap ke-lain-an teks. Proses menafsirkan teks seperti itu, pasti melibatkan proyeksi nilai, kepentingan dan agenda seseorang ke dalam teks. Demikian pula ketika kita ingin membedah wacana mistisisme, mau tak mau harus merekonstruksi bangunan sebuah wacana literer teks atas nilai, kepentingan serta agenda-agenda yang mendorong seseorang mengintertektualisasiakan ide-idenya. Kadang ada pertanyaan: atas dasar apakah klaim terhadap mistisisme dikatakan irasional? Bukankah mistisisme sering merupakan embrio dari ilmu juga? Lalu apa perbedaan manakah yang menjadi pembedanya? Kelihatannya sulit untuk dijawab, karena pola berpikir kita telah terlanjur di-frame-kan (dalam jalur formal) yang hanya memahami suatu ajaran, entah filsafat Barat atau “filsafat” Timur: memang berbeda.

Istilah mistik sendiri telah digunakan dalam bahasa sehari-hari, walau kesan yang ditangkap agak serampangan dan kabur. Sebagai teks, kata sifatnya biasa digunakan untuk mendiskripsikan suatu obyek, orang, peristiwa atau kepercayaan yang memiliki aspek agak misterius yang terkait dengan pengalaman religius, supra natural, dan magis-gaib. Mistisisme, konon berasal dari kata sifat Yunani, (mistikos), atau misterious. Dugaan banyak sarjana mengatakan, mistikos berasal dari kata Yunani itu berarti “menutup” (to close). Yang juga diartikan sebuah gerakan untuk menutup mata, mulut, atau juga pintu. Berbeda istilah dari perancis, mistisisme itu dari kata la mystique istilah yang pertama kali muncul pada awal abad ke-17 di Perancis. Mistisme, menurutnya, pada awalnya diperkenalkan oleh intelektual-intelektual Barat untuk menamai fenomena atau aspek dalam tradisi Kristen, yang menurut pemahaman mereka menekankan pengetahuan religius yang diperoleh melalui pengalaman luar biasa atau wahyu suci. Ada juga yang lain menganggap misitisisme sebagai, “Bagian terpenting (Tiang) penyangga dari semua keyakinan, bersifat menentang formalitas beku dan ketumpulan religius.” Memiliki tujuan untuk membangun hubungan secara sadar dengan yang Absolut,

Agak rumit memang menelisik pertautan awal antara misitisisme yang dinilai, lebih tepatnya, irasional di satu pihak dan lainnya. Kerumitan akhirnya menemukan titik singgung, dan bisa menjadi penyebabnya orientalisme ketat religius dimasa psikis koloni. Artinya kadang wacana mistis ditempat-kan sebagai “sosok” yang mendominasi dan memarjinalkan batas-batas inferior sesuai dengan orientalisme si penganut. Dalam pemahaman mikro dan makro cosmos, mistism atau magis adalah suatu dimensi yang bereksistensi (memiliki daya) pengaruh atas keberadaannya, yang terkadang tidak untuk dapat ditangkap oleh indra manusia. Jadi diperlukan untuk melatih kesadaran secara (khusus) untuk mendalami hal-hal, atau fenomena yang bersifat irrasional di alam.

Jadi sebelum memahami sebuah wacana, petuah bijak mengatakan:


“Siapa pun yang ingin memahami sebuah teks sebaiknya bersiap untuk mempersilahkan teks itu mengatakan sesuatu padanya…”