Senin, 18 Juni 2012

Sistem Kekerabatan Dalam Budaya Jawa


Merujuk Koentjaraningrat, budaya Jawa adalah budaya yang timbul dan tumbuh dalam kehidupan etnis (suku bangsa ) Jawa, biasanya bermukim di kawasan Jawa Tengah maupun di Jawa Timur. Kebudayaan Jawa tidak biasa dipisahkan dengan pengaruh kerajaan Mataram, sebelum terpecah menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasuhunan Surakarta. Sementara itu Marbangun Harjowirogo tidak memberi batasan spesial terhadap orang yang disebut  sebagai orang Jawa. Menurutnya, mereka yang berpikir dan berperasaan seperti moyang mereka di Jawa Tengah maupun Jawa Timur sebagai pusat-pusat kebudayaan, baik yang berada di pulau Jawa maupun yang tinggal di luar pulau bahkan di Negara lain.

Orang Jawa di jaman kolonialisme berkelompok menjadi beberapa golongan berdasarkan status sosial yaitu wong cilik rata-rata kaum petani dan buruh. Juga golongan priyai termasuk pegawai /ningrat/kaum intelektual dan kaum saudagar pribumi. Disamping lapisan sosial ekonomi itu, masih dibedakan pula atas dasar keagamaan meskipun secara nominal juga beragama Islam namun berbeda cara penghayatannya. Menurut Clifford Greertz kelompok ini dipisahkan menjadi dua golongan, yang pertama adalah Islam Kejawen atau kaum Abangan. Golongan kedua adalah orang-orang Jawa yang berusaha untuk hidup menurut ajaran agama Islam atau golongan Santri.

Dalam sistem kekeluargaan, masyarakat tidak mengenal sistem marga. Meskipun demikian, hubungan kekeluargaan di luar keluarga inti dianggap penting. Demikian juga keturunan dari seorang nenek moyang yang sama merupakan faktor penting dalam masyarakat Jawa dan dianggap sebagai kelompok yang termasuk kerabat. Setiap orang Jawa melihat dirinya sendiri berada di tengah-tengah sebuah tatanan jajaran: kakek-nenek, bapak-ibu, kakak-adik, dan cucu-cucu.

Bagi individu Jawa, keluarga merupakan sarang keamanan dan sumber perlindungan. Dalam keluarga, hubungan antara anggotanya diharapkan berlandaskan rasa cinta (tresna). Di dalam rasa tresna itu nampak apabila orang tidak merasa isin satu sama lainnya. Sebab bagi perasaan Jawa, perbedaan yang berarti secara psikologis adalah perbedaan keakraban (tresna) dan hubungan yang menuntut sikap hormat. Hanya di dalam keluarga sajalah suasana akrab ideal, kurang lebih terwujud.

Di dalam keluarga pulalah orang Jawa belajar mengembangkan keutamaan-keutamaan seperti belas kasihan, kebaikan, kemurahan hati, kemampuan untuk menangkap kegelisahan orang lain, rasa tanggung jawab sosial, keprihatinan terhadap sesama dan semacamnya. Keluarga adalah tempat berkembangnya suatu perasaan moral praktis yang teramat mendalam, yang tidak memerlukan legitimasi teoritis. Keluarga bagi orang Jawa merupakan guru pertama yang mengajarkan bagaimana ia harus berperasaan, berpikir, dan bersikap menghadapi realitas. Oleh karena itu  seorang ibu  Jawa diharapkan mampu mendidik anak-anaknya sekaligus memberi rasa tresna dan rasa aman. Mereka itulah yang memberikan kepadanya kesejahteraan emosional serta titik keseimbangan dalam orentasi sosial. Di sini proses sosialisasi merupakan suatu proses berkesinambungan di sepanjang sejarah kehidupan pribadinya. Keluarga terdekat itulah yang dengan tegur sapanya dari hari ke hari lewat peragaan kongkret dalam sikap keseharian mereka, menjaga agar anak tidak terlalu jauh menyeleweng dari rel kaidah-kaidah budaya mereka. Perkembangan anak benar-benar tergantung pada lingkungan mereka.

Apabila orang Jawa telah dewasa, maka ia telah membatinkan bahwa kesejahteraanya bahkan eksistensinya tergantung pada kesatuan kelompoknya. Dengan demikian, secara piskologis, orang Jawa membutuhkan dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa, yaitu kerukunan dan prinsip hormat. Rukun secara psikologis diterjemahkan di dalam keadaan dimana tidak terdapat perasaan-perasaan negative, yaitu suatu keadaan yang aman dan tentram. Prinsip rasa hormat adalah setiap orang dalam bersikap dan membawa diri dalam hal pola interaksi dalam masyarakat Jawa. Prinsip ini mengatakan bahwa setiap orang dalam bersikap dan membawa diri serta dalam cara berbicara, hendaknya selalu harus memperlihatkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai derajat dan kedudukannya.

Dalam prinsip hormat ini, bahasa memainkan peranan yang penting, sebab dalam pemakaiannya, mengungkapkan tatanan yang ada. Penggunaan bahasa Jawa mengandaikan kesadaran akan kedudukan sosial masing-masing. Dan dalam kefasihannya menggunakan sikap-sikap hormat yang tepat, seorang Jawa mengembangkan sejak kecil lewat pendidikan keluarga, terutama dari sang ibu, khususnya dalam hal tatakrama. Sebab dalam pemeliharaan bentuk tatakrama yang terwujud dalam sikap tubuh, isi dan bentuk pembicaraan itu dimaksudkan untuk menciptakan situasi yang tenang dan mantap di segala bidang hubungan sosial yang ada, serta berlaku pula sebagai kekuatan pemersatu yang kuat dalam masyarakat Jawa.

Dalam bukunya Etika Jawa, Magnis Suseno mengutip pandangan Hildred Greertz yang mengatakan  bahwa pendidikan mengenai kefasihan menggunakan sikap-sikap hormat yang tepat itu tercapai melalui tiga perasaan yang dipelajari oleh anak Jawa dalam situasi-situasi yang mengharuskan sikap hormat kepada orang lain. Yaitu menjadi wedi (takut),  isin (malu), dan sungkan (rasa segan, sopan, hormat). Wedi, isin, sungkan merupakan suatu kesinambungan perasaan-perasaan yang mempunyai fungsi sosial untuk memberi dukungan psikologis terhadap tuntutan-tuntutan prinsip hormat.

Bagi orang Jawa, seseorang yang sungguh-sungguh bijaksana yaitu orang yang telah sampai pada “rasa” yang sebenarnya dapat dikenali karena kehalusannya. Kehalusan bathiniah adalah apabila seseorang mempunyai sifat-sifat yang  luhur, mampu mengendalikan hawa nafsunya, berbudi, kuat tapa dan matiraganya. Kehalusan seperti itu menampakan diri dalam sopan-santun  berbahasa, dalam sikap pergaulan, dalam hidup religius, dalam pekerjaan dan aspek-aspek kehidupan lainnya.

Kehalusan dalam pemakaian bahasa adalah pemilihan kata-kata yang tepat dan cocok untuk dipergunakan terhadap siapa ia sedang berhadapan dan berbicara. Dalam bahasa Jawa, ada tingkatan pokok yang menjadi landasan untuk menerapkan ketepatan pemakaian tersebut. Tingkatan ini adalah bahasa Jawa ngoko, kromo, dan kromo inggil.

Kehalusan lain yang terwujud pada sikap seorang Jawa adalah kehalusan dalam pergaulannya. Disamping kemampuan memakai bahasa yang tepat, juga ditekankan keharusan sikap hormat atau andap asor (rendah hati) yang memainkan peran penting dalam pergaulan. Orang Jawa mengidentikkan ketinggian seseorang dengan pangkatnya. Semakin tinggi pangkat seseorang, makin ia dihormati atau dihargai.

Salah satu bentuk tata sopan-santun atau basa-basi pergaulan juga dinilai positif adalah kemampuan orang Jawa untuk bersikap ethok-ethok (pura-pura). Ethok-ethok itu diperlihatkan di luar lingkungan keluarganya itu merupakan cara seseorang Jawa untuk tidak memperlihatkan perasaan-perasaan sebenarnya dalam pergaulan demi menjaga ketertiban agar tetap berlangsung. Rasa benci, marah, sedih, tak puas, dan semacam itu sedapat-dapatnya disembunyikan. Orang Jawa diharapkan untuk menghindari keterus-terangan  yang serampangan

Dalam dunia batin orang Jawa idealnya memiliki sikap sepi ing pamrih, suatu sikap yang tak ingin memaksakan kehendak dan kepentingannya sendiri tanpa memperhatikan kepentingan sesama, yang mengandung sikap eling, sabar, dan nrimo. Sikap eling adalah sikap yang selalu ingat asal-usulnya. Bahwa ia berasal dari Yang Illahi dan dengan rendah hati tahu siapa dirinya, dan termasuk  didalamnya adalah sikap mawas diri dan sekaligus bangga akan asal-usulnya. Sikap sabar terwujud dalam keadaan yang tidak tergesa-gesa, tidak khawatir dalam menghadapi sesuatu. Memiliki kesadaran akan terjadinya segala sesuatu itu sebagaimana memang semestinya sudah harus terjadi. Bagi orang Jawa masalah waktu tidak menjadi persolan penting, yang lebih penting adalah tercapainya suatu tujuan, alon alon waton kelakon.

Sikap nrimo bukan berarti asal menerima saja nasib yang menimpanya tetapi memiliki arti yang lebih mendalam. Meskipun menderita misalnya, tetapi tetap bereaksi secara wajar dan bisa membawa diri dalam situasi seperti itu, dan menunjukan suatu  kemampuan batin untuk menerima keadaan. Jadi bukan nrimo dalam arti kepasrahan terhadap nasib dalam ketidakberdayaan dan keputusasaan. Kemudian sikap ikhlas merupakan suatu batin yang merelakan apa saja. Tidak egois dan tidak rakus, tercermin dalam budi luhur dimana antara lain mempunyai kesanggupan untuk bersedia melepaskan apa saja yang dimilikinya atau apa yang merupakan kemampuan jika itu menjadi tuntutan tanggung jawab atau nasibnya.

Demikianlah sosok manusia Jawa yang begitu komplet dengan tingkatan bahasa yang menonjol, seolah memberi kesan harus berfikir dulu sebelum melangkah. Selalu mengambil sikap memenuhi kewajiban untuk menjaga tatanan dan keselarasan, baik dengan dirinya sendiri maupun dengan sesamanya dengan realitas yang dihadapai. Upacara ritual adat Jawa selalu ditujukan sebagai ungkapan puji syukur masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa.



Catatan Kaki

1. Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka 1985
2.  Marbangun Hardjowirogo, Manusia Jawa, Jakarta: Idayu Press 1984
3.  Geertz,  Hildred, Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Press 1983
4.  Frans Magnis Suseno, Etika Jawa, Jakarta: Gramedia 1984
5.  Arifin  Suryo N.  Biografi Hartini Soekarno, Yogyakarta: Ombak 2009

Rabu, 09 Mei 2012

Raden Said



Kadilangu terletak tak jauh dari Demak Jawa Tengah. Kalau anda datang dari arah Semarang, sebelum sampai ke Demak bisa mampir ke Kadilangu dulu. Udara biasanya panas, tapi orang-orang yang datang mengalir tanpa putus wajahnya begitu tulus. Memang  di sanalah terdapat makam yang “paling dikeramatkan di  Jawa Tengah”, yakni makam Sunan Kalijaga.

Raden Said/Sunan Kalijaga ini adalah putra dari Tumenggung Wilatikta dengan  Dewi Nawangrum, Tumenggung Wilatikta adalah Bupati Tuban yang ke VIII beliau masih keturunan dari Bupati Tuban yang ke II Raden Aryo Ronggolawe. Raden Said/Sunan Kalijaga ini memiliki seorang adik perempuan dengan nama Dewi Rasawulan. Kelak Dewi Rasawulan ini menikah dengan Raden Jaka Supa.

Raden Jaka Supa adalah keturunan Empu keraton Majapahit, yaitu Ki Pitrang/Ki Supa Mandrangi /Pangeran Sedayu. Raden Jaka Supa adalah arsitek keris Kyai Naga Sasra dan Keris Kyai Sabuk Inten yang terkenal itu.

Sesungguhnya, Keris Kyai Naga Sasra maupun Keris Kyai Sabuk Inten, adalah sebuah simbol semata. Naga Sasra berasal dari bahasa sanskerta Nagha Sahasrara yang berarti Seribu Naga. Ini melambangkan banyaknya kekuatan-kekuatan laten Majapahit yang masih memiliki kekuatan militer dan masih memiliki pengaruh besar dipelosok Nusantara.

Sedangkan Sabuk Inten berarti Ikat Pinggang Intan yang melambangkan para investor ekonomi lokal maupun mancanegara sebagai sumber keuangan yang sangat menentukan perputaran roda perekonomian negara.

Raden Jaka Supa bukan orang sembarangan. Ayahandanya, Ki Pitrang/Ki Supa Mandrangi, sangat berpengaruh didalam negeri Majapahit dan mancanegara waktu Majapahit masih berdiri. Pekerjaannya sebagai penyedia persenjataan militer negara, menjadikan Ki Pitrang banyak memiliki relasi.

Apabila anda pernah dengar sebuah pedang kuno yang menjadi kebanggaan Dr. Sun Yat Sen, pendiri Taiwan yang bernama Pit-Kang, sesungguhnya pedang tersebut adalah hasil tempaan Ki Pitrang, sehingga namanya pun masih disebut Pitrang walaupun dalam logat China. Pedang ini masih disimpan di Taiwan. Pedang tersebut adalah hadiah Raja Majapahit kepada Kaisar Tiongkok. Dan tidak tahu bagaimana ceritanya, pedang kuno yang berasal dari Majapahit tersebut bisa dibawa lari oleh Dr. Sun Yat Sen ke Taiwan setelah Tiongkok berhasil dikuasai kaum komunis.

Kebesaran nama Ki Pitrang inilah, menjadikan Raden Jaka Supa, sebagai anak laki-laki satu-satunya dari istri yang berasal dari Majapahit ( seorang lagi, istri Ki Pitrang berasal dari Blambangan. Dari istri Blambangan ini, beliau mempunyai seorang putra bernama Jaka Sura, yang meninggal sewaktu berusia belia. Praktis, putra Ki Pitrang tinggal Raden Jaka Supa. : Damar Shashangka), sangat disegani. Para sisa-sisa Bangsawan Majapahit, yang masih memiliki pengaruh dalam bidang ekonomi maupun militer dan masih banyak tersebar di beberapa pelosok Nusantara serta yang disimbolkan dengan Keris Kyai Naga Sasra, ditambah para investor asing yang disimbolkan dengan Keris Kyai Sabuk Inten, sangat-sangat menghormati Raden Jaka Supa adik ipar dari  Raden Said. : Damar Shashangka).

Kelak Raden Jaka Supa dan Raden Said ini akan bahu-membahu membantu berdirinya kerajaan Islam Demak Bintara beserta penerusnya dan penyebaran agama  Islam di tanah Jawa.

Raden Said kecil hidup terdidik dalam lingkungan istana Bupati Tuban. Pada dasarnya beliau memang gandrung terhadap ilmu dan selalu tanggap waskita. Kepiawaian, kecerdasan, dan kepekaan Raden Said terhadap kandungan ilmu tuwa pun menjadi buah bibir para ulama sepuh, pujanggah, dan pinisepuh istana Tuban. Adapun apa saja yang diajarkan para guru maupun pinisepuh istana, mampu diselesaikan hingga tamat oleh Raden Said. Selain berguru pada pinisepuh dan orang-orang yang didatangkan oleh ayahhandanya, Raden Said juga berguru pada wong kang linuweh di luar istana.

Pergaulan Raden Said di luar istana, dan melihat keadaan rakyat yang serba kesulitan. Situasi yang tidak menentu setelah perang perebutan kekuasaan di Majapahit oleh Raden Patah dari Demak Bintara maupun Girindrawardhana dari Keling, Kedhiri (tahun 1466-1473 M). Telah membuat kehidupan rakyat Tuban menjadi sulit. Penarikan upeti sembarangan guna membiayai perang melawan pemberontak dalam kerajaan Majapahit membuat rakyat semakin terjepit. Kekurangan kebutuhan hidup menjadi pemandangan sehari-hari yang memilukan di wilayah itu. Bagi Raden Said muda, kepasrahan tidaklah cukup untuk mengatasi kesulitan hidup di masyarakat kecil, apalagi banyak munculnya kriminalitas yang meresahkan masyarakat. Ia harus bertindak walaupun itu perbuatan yang tercela dan ia harus menanggung resikonya, diusir dari istana karena aksi nekat mencuri bahan makanan yang disimpan di gudang istana,  yang dapat digagalkan oleh petugas. Segala aksi begal di luar istana ia jalani demi membantu rakyat kecil. Mulai merampok upeti, menjarah harta pejabat-pejabat kecil desa, dan membagikanya kepada rakyat miskin. Selain merampok ia juga menyadarkan perampok-perampok lainnya agar tidak menggangu rakyat miskin. Oleh karena itu ia mendapat gelar si maling aguna atau berandal Lokajaya, atau perampok budiman. Ia sangat di segani oleh perampok lainnya, selalu berempati terhadap kaum tak berpunya. Walau dalam hati Raden Said menyadari mungkin itu semua salah dan dilarang menurut ilmu yang ia pelajari dari guru-gurunya di istana.

Ketika berandal Lokajaya menjadi semakin menjadi dan menguasai wilayah hutan Glagah Wangi, tak jauh dari kadipaten Demak yang baru berdiri. Ia di datangi oleh ulama besar anak sulung dari Sunan Ampel Denta yaitu Maulana Makdum Ibrahim/Sunan Bonang yang sedang dalam perjalanan menuju ke Demak Bintara. Menurut silsilah dari keturunan Ronggolawe/Bupati Tuban II, Raden Aryo Adikoro Bupati Tuban VI, adalah cicit dari Ronggolawe ini mempunyai dua putra, Raden Ayu Aryo Tejo dan Kyai Ageng Graseh. Raden Ayu Aryo Tejo (putri) menikah dengan Syeh Ngabdurahman (putra) dari Syeh Jali/Kyai Makam Dawa/Ngalimurtala dari Gresik (saudara dari Sunan Ampel Denta). Syeh Ngabdurahman menjadi Bupati Tuban yang ke VII dengan gelar Raden Aryo Tejo. Dan Raden Aryo Tejo ini digantikan  oleh putranya yaitu Raden Aryo Wilantikta atau ayah dari Raden Said, menjadi Bupati Tuban yang ke VIII. Jadi Raden Said masih kerabat dekat dengan Syeh Maulana Makdum Ibrahim/Sunan Bonang.

Berbagai kisah telah diceritakan tentang pertemuan antara Raden Said dengan Sunan Bonang. Akhirnya Raden Said menginsafi perbuatannya dan beliau diangkat oleh Sunan Bonang menjadi muridnya setelah diberi wejangan (ilmu) tentang wawasan berketuhanan dan dinamika masyarakat di masa itu. Tugas utama Raden Said adalah “Njogo kali”, atau menjaga aliran kepercayaan di tengah masyarakat yang sudah heterogen. Tongkat perlambang petunjuk jalan yang diharapkan kelak masyarakat tidak akan lagi tersesat, dan tetap memegang prinsip-prinsip Islami (Al Quran dan Hadist Nabi). Walau cara berdakwah nantinya akan menghadapi budaya lokal yang telah bercokol kuat, diharapkan tidak menimbulkan konflik yang berlarut-larut. “Sungai akan selalu mengalir, sedang noda yang menempel akan hilang dengan sendirinya” ujar Sunan Bonang kepada Sunan Kalijaga. Sepeninggal Sunan Bonang, Raden Said pun diangkat menjadi Sunan dengan gelar Kalijaga, seperti maksud dan tujuan, yang telah diuraikan.

Sekilas memang tampak ada sisi kebadungan dari Raden Said ini, yang justru menjadi orisinil dan sangat penting bagi kelanjutan penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Selain itu juga Raden Said merupakan wali yang sangat vital, sebagai penghubung legitimasi kekuasaan dari Majapahit ke Mataram Hadiningrat. Perseteruan antara Sunan Kudus dan Giri Kedaton dalam penerus tahta kerajaan Demak sepeninggal Sultan Trenggana akhirnya dapat diredam dengan kemenangan dari murid Sunan Kalijaga, Hadiwijaya (menantu Sultan Trenggana) melawan Arya Penangsang (keponakan Sultan Trenggana) jago dari Sunan Kudus. Dengan bantuan dari Ki Ageng Pamanahan beserta putranya Panembahan Senopati akhirnya Aryo Penangsang gugur di medan perang pada tahun 1549 M. Dengan naiknya Hadiwijaya (atas restu Sunan Giri Prapen) sebagai Sultan di Pajang pengaruh Kudus sudah mulai berangsur-angsur surut. Pengaruh besar Sunan Kalijaga ini tak tepas juga dari strategi Sultan Trenggana yang menikahkan Raden Said/Sunan Kalijaga dengan putri orang suci dari tlatah kulon Sunan Gunung Jati, meminjam wibawa (istilahnya) dari Sunan Gunung Jati untuk menandingi wibawa Sunan Kudus di lingkungan kerajaan Demak Bintara.

Setelah kerajaan Demak jatuh, penerusnya Hadiwijaya (Pajang) tidak memiliki pengganti yang kuat di bidang pemerintahan. Sunan Kalijaga menunjuk Panembahan Senopati (Sutawijaya) sebagai penerus dari Sultan Hadiwijaya dan membujuk anak dari  Hadiwijaya yang juga salah satu muridnya yaitu, Sunan Benawa untuk meninggalkan urusan duniawi dan memilih menjadi ulama, dengan menumbuh suburkan pesantren-pesantren di tanah Jawa. Sunan Benawa ini patut untuk dijuluki bapak pesantren di Indonesia.

Pemberontakan Ki Ageng Pengging (ayah Hadiwijaya) terhadap Dewan Walisanga Demak. (intervensi dari ajaran Syeh Lemah Abang yang juga guru dari Ki Ageng Pengging). Dapat diselesaikan walau dengan berat hati. Ki Ageng Pengging/Kebo Kenanga dan para pengikut Syeh Lemah Abang harus mengakhiri (hidupnya) jika menolak ultimatum yang diberikan Walisanga untuk bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Walaupun pengikut Syeh Siti Jenar sudah surut namun pokok-pokok ajaran(nya) masih menjadi bahan perdebatan hingga saat ini.

Dalam berkompromi dengan para Wali lainnya, terutama yang paling keras perlawanan dari Sunan Kudus maupun Sunan Giri. Sunan kalijaga yang sangat kreatif, mengubah boneka wayang yang semula tiga dimensi menjadi dua dimensi (wayang kulit) supaya tidak seperti patung (yang di Saudi Arabia hal itu biasa dianggap berhala). Beserta sarananya, keber (kain putih), debog (batang pisang), kotak kayu, yang semuanya memiliki makna tersendiri. Dalam pembangunan Masjid DemakSunan Kalijaga pun turut berperan mendirikan tiang penyangga, yang berbeda dengan tiang-tiang lainnya. Karena tiang tersebut bukanlah terbuat dari bahan (kayu) yang utuh, melainkan kayu yang sudah disambung-sambung atau Saka Tatal. hingga saat ini Saka Tatal masih kuat menyangga Masjid Demak. Saka Tatal mungkin makna/simbol dari penyebaran agama Islam di tanah Jawa.

Upaya yang telah dilakukan oleh Raden Said/Sunan Kalijaga dalam penyebaran agama Islam baik kultural maupun struktural telah berhasil dengan baik, setidaknya mampu menghindari konflik dengan budaya lama yang telah bercokol kuat di Bumi Nusantara

Catatan kaki
1.      Sembilan Wali dan Siti Senar, SGA 2007, Hlm 119-131.
2.      Sunan Kalijaga, Wawan Susetya, Diva Press 2009, Hlm 10-13
3.      Ki Ageng Mangir, Sugeng Pramana, Gelombang Pasang 2006, Hlm 213-220
4.      Damar Shashangka, Blog,

Jumat, 27 April 2012

Raden Paku


Di awal abad 14 M, Kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu Menak Sembuyu, konon masih salah seorang keturunan Prabu Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit. Raja dan rakyatnya memeluk agama Hindu dan ada sebagian yang memeluk agama Budha.

Suatu ketika, kerajaan terkena wabah penyakit. Akibat wabah tersebut banyak penduduk yang jatuh sakit dan tewas. Salah satu yang sakit adalah Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak Sembuyu. Sakitnya sang putri sudah berminggu-minggu, raja khawatir keadaan putrinya kian hari kian bertambah parah. Sudah menjadi tradisi raja-raja di Jawa, jika keluarga raja mengalami masalah, sering diadakan sayembara dengan imbalan tertentu bagi yang bisa menyelasaikannya.

Patih Bajul Sangara mendapat tugas untuk menyelenggarakan sayembara tersebut, atas saran Rsi Kandabaya seorang petapa yang biasanya tinggal di daerah pegunungan memberi petunjuk tentang orang sakti dari negeri seberang yang sedang menyebarkan agama baru, Orang tersebut bernama Syekh Maulana Ishak. Syekh Maulana Ishak konon adalah teman seperjuangan Syekh Maulana Malik Ibrahim (Ayahanda Sunan Ampel Denta) dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Kanjeng Maulana Ishak selain pintar berdakwah juga pandai di bidang ilmu ketabiban, atas usaha sungguh-sungguh dan karomah Allah sang putri Dewi Sekardadu akhirnya sembuh dari sakitnya. Pegebluk juga lenyap di wilayah Blambangan. Sesuai janji Raja maka Syekh Maulana Ishak dikawinkan dengan Dewi Sekardadu. Dan akan diberi kedudukan sebagai Adipati untuk menguasai sebagian wilayah Blambangan.

Prastawa pernikahan tersebut menjadi catatan tersendiri bagi rakyat Blambangan yang mayoritas beragama Hindu. Karena upacara pernikahan sangat sederhana dan mudah dan sebelumnya tidak pernah terjadi dalam adat Blambangan. Babad Tanah Jawi mengisahkan, menjelang upacara pernikahan terjadi ketegangan antara Kanjeng Maulana Ishak dengan pihak istana. Hal ini berasal dari soal makanan. Sesuai ajaran Islam, Kanjeng Maulana Ishak melarang semua makanan yang berasal dari daging babi dan juga jenis daging lain (daging anjing) misalnya, yang diharamkan oleh agama. Sementara pesta tanpa daging babi bagi rakyat Blambangan dianggap tidak sah. Keributan itu akhirnya biasa diselesaikan “sanajan mekaten iseh” mengganjal di hati Sang Prabu. Upacara tersebut akhirnya berhasil sesuai adat dan tata cara agama baru di negeri Blambangan. Sikap Maulana Ishak yang rendah hati dan ilmunya yang luas membuat rakyat Blambangan banyak yang terpikat. Sehingga semakin hari banyak yang ikut dan berguru pada Kanjeng Maulana Ishak.

Hal ini tentunya meresahkan hati Sang Prabu, karena merongrong wibawa kerohanian, istana merasa tersaingi oleh ajaran agama baru ini. Untuk itu Patih Bajul Sangara disuruh membereskan  usaha-usaha penyebaran agama oleh Kanjeng Maulana Ishak. Dengan segala tipu daya dan teror dilakukan untuk mengusir Kanjeng Maulana Ishak dari tlatah Blambangan. Akhirnya Kanjeng Maulana Ishak menyingkir, setelah berijtihad dan mendapat petunjuk dari Allah. Mungkin belum saatnya bagi rakyat Blambangan berbondong-bondong memeluk agama Islam. Tapi saatnya nanti akan menjadi tlatah Islam yang menonjol.
Sebelum meninggalkan Blambangan Kanjeng Maulana Ishak pamit dulu kepada istrinya yang lagi hamil, kalau lahir nantinya laki-laki namakan Raden Paku bila perempuan terserah dinamakan apa. Kemudian Kanjeng Maulana Ishak pergi ke Pasai, sebelumnya singgah di Ampel dulu.

Sepeninggal Kanjeng Maulana Ishak,  Patih Bajul Sangara yang juga menaksir Sang Putri menghasut Prabu Menak Sembuyu supaya membuang bayi yang baru dilahirkan oleh Dewi Sekardadu, karena dikawatirkan akan membawa bencana bagi kawula Blambangan. Dengan berat hati Sang Prabu akhirnya melarung bayi tampan ini (Raden Paku) atau cucunya ke laut.

Alkisah bayi ini akhirnya ditemukan oleh nahkoda kapal dalam sebuah peti terbuka lengkap (mungkin) dengan peralatan bayi dan nama yg tertera pada benda tsb. Dan dibawa bersama kapal yang sedang berlayar menuju pelabuhan  Gresik. Setibanya di Gresik ia diserahkan pada sang pemilik kapal yaitu Nyai Gede Pinatih. Nyai Gede Pinatih ini pengusaha sekaligus janda dari Patih Samboja, bekas abdi dalem istana Blambangan juga yang diusir raja, lalu pindah ke Kerajaan Majapahit (saat memasuki jaman kemunduran), dan diutus kerajaan untuk tugas di Gresik.(1). Bayi ini segara diasuh jadi anak angkat dan diberi tetenger oleh Nyai Gede dengan nama tambahan Joko Samudro.

Ketika berumur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samodra atau Raden Paku  untuk berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya. Sewaktu mondok di pesantren Ampeldenta, Raden Paku sangat akrab bersahabat dengan putra Raden Rahmat yang bernama Raden Makdum Ibrahim(Sunan Bonang).

Ketika Raden Paku sudah beranjak dewasa Sunan Ampel memberitahukan perihal tentang siapa dirinya, dan menyuruhnya segera menemui ayahandanya di Pasai yaitu Syekh Maulana Ishak atau Syeh Awwalul Islam. Raden Paku berangkat ke Pasai bersama sahabat karibnya Raden Makdum Ibrahim untuk berguru dan menemui ayahandanya.

Syekh Maulana Ishak terharu menerima kedatangan dua pemuda dari tanah jawa ini. Yang salah satunya adalah putranya sendiri. Kelak setelah menimba ilmu di Pasai, Syekh Maulana Ishak memberi tugas kepada dua pemuda ini untuk menyebarkan Islam di seluruh pelosok Jawa. Untuk Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) harus menyebarkan agama Islam di pedalaman tanah Jawa, sedang putranya Si Raden Paku(Sunan Giri I) menyebarkan Islam di pesisir pantai Jawa dan wilayah timur pulau Jawa.

Raden Paku memiliki dua istri, istri pertama putri dari Sunan Ampel Denta yaitu Dewi Murtasiah. Yang kedua Dewi Wardah putri bangsawan Majapahit Ki Ageng Supa Bungkul. Kelak peran serta Raden Paku atau yang terkenal dengan sebutan Sunan Giri I akan sangat menentukan bagi berdirinya kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak dan penyebaran agama Islam di wilayah Indonesia Timur. Dan penerusnya, Sunan Dalem (Giri II) berperang di pihak Demak menyebarkan Islam di pelosok Jawa, menyerang Kadipaten Sengguruh(Malang/Pasuruan) yang enggan mengakui kekuasaan Islam Demak. Juga penerus lainnya Sunan Prapen (Giri IV) menggantikan posisi kakaknya Sunan Giri III yang gugur dalam ekspedisi Sultan Trenggana di Panarukan.

Ada kebijakan krusial dari Giri Kedaton di jaman Sunan Prapen masih hidup yaitu, mengangkat Hadiwijaya (menantu Sultan Trenggana) yang berkedudukan Di Pajang, sebagai penerus kesultanan Islam Demak yang sah. Hal ini tentunya merupakan salah satu bentuk dukungan moral setelah kematian Sultan Trenggana dan keributan di Kerajaan Islam yang masih muda ini. Hal yang menjadikan krusial karena di masa itu banyak Adipati-adipati di Jawa Timur (bekas kerajaan Majapahit) yang masih enggan mengakui kekuasaan ekspansif kerajaan Islam dari Jawa Tengah ini (Mataram Hadingrat). Sehingga hampir terjadi pertempuran besar antara Senopati Mataram Hadiningrat (Sutawijaya) beserta bregadenya melawan bregade dari persatuan Adipati Jawa Timur yang dipimpin Adipati Surabaya (Kanjeng Panembahan Ratu Jayalengkara) yang masih keturunan dari Sunan Ampel di tahun 1589. Tetapi akhirnya dapat di damaikan oleh Kanjeng Sunan Giri Prapen, sehingga Bregade Mataram Hadiningrat yang dipimpin Senopati Sutawijaya tidak sampai berekspansi ke pelosok Jawa Timur. Yang kelak ekspansi ini akan diteruskan oleh cucunya Kanjeng Sultan Agung. Di masa Sultan Agung inilah kewibawaan kerohanian Giri Kedaton sudah mulai menurun, disebabkan kerena Sultan Agung enggan melibatkan trah dari Giri Kedaton  di Kerajaan Islam Mataram Hadiningrat.

Catatan Kaki

Kamis, 19 April 2012

Kebudayaan di Jawa sebelum pengaruh Islam masuk





J.M.W. Bakker mengatakan:
 “Agama Hindu murni tidak pernah menjadi milik bangsa Indonesia . . . hanya unsur-unsur, bukan asasi sebagai Mahabharata dan Ramayana menjadi popular dan disesuaikan dengan pandangan setempat. Hinduisme tenggelam dalam lautan pemikiran asli, hanya dimanfaatkan untuk lebih menegaskan pandangan hidup Indonesia dimana waktu itu masih samar-samar.”

Karena kebudayaan Jawa yang dihasilkan pada masa Hindu-Budha bersifat terbuka untuk menerima agama apapun, dengan pemahaman bahwa semua agama itu baik dan benar, yang penting pengalaman setiap agama harus ditunjukan bagi kepentingan dan kebesaran masyarakat, agama ageming aji, menurut ungkapan Wedhatama, maka sangatlah wajar jika kebudayaan Jawa sangat bersifat sinkretis (bersifat momot atau memuat), dimana setiap agama diterima dengan sikap terbuka dan tidak memedulikan benar salahnya agama tersebut. Agama Hindu-Budha di negeri asalnya justru bermusuhan, sedangkan di Jawa dapat dipersatukan menjadi konsep agama Syiwa-Budha.

Ciri lain tampak menonjol dalam kebudayaan Jawa adalah sangat bersifat teokratis. Pengeramatan raja sebagai pembawa esensi kedewataan di dunia adalah salah satu bukti teokratis ini. Dalam hal ini Onghokham mengatakan:
“Dalam kerajaan tradisional, agama dijadikan bentuk legimitasi. dalam jaman Hindu-Jawa diperkenalkan konsep dewa-raja, atau raja titising dewa. Ini berarti bahwa raja harus tunduk pada kedudukan raja, untuk mencapai kemurnian di dunia dan akherat. Agama diintegrasikan ke dalam kepentingan kerajaan. Kebudayaan berkisar pada raja, tahta dan keraton. Berbagai tulisan menyatakan, kebesaran raja serta kekeramatannya menjadi satu kesatuan yang final. Memang raja dan kehidupan keraton adalah puncak peradapan kerajaan masa itu.”

Seperti kebudayaan di Jaman Majapahit menurut Clifford Geertz , bersendikan pada peradapan agraris yang bersifat religius dan sana masih dominan, kombinasi yang elegan antara sikap tawakal dan seremonial dengan hirakhisnya akan dapat berlangsung terus. Seperti yang digambarkan oleh Empu Prapanca dalam kitab Negarakertagama.

Masuknya pengaruh agama Hindu-Budha serta kebudayaan Hindia tidak dengan serta merta membongkar kepercayaan animisme-dinamisme sebagai kepercayaan asli yang telah menyuburkan kepercayaan serba magis dan animis dengan cerita orang-orang sakti setengah dewa, juga mantra-mantra-berupa rumusan kata-yang dipandang magis. Karena dipandang bahwa kepercayaan mitologi dan cerita- cerita dewa-dewa kekuatan alam sesuai dengan konsep ruh cikal bakal yang baureksa,  lautan, gunung, ataupun daerah-daerah tertentu.

Kemunculan berbagai macam sastra, terutama yang berkaitan dengan cerita wayang, ikut mendorong pertumbuhan dan perkembangan berbagai cabang kesenian yang sangat halus dan indah. Seni merupakan hasil kebudayaan yang amat berharga untuk mendidik dan memperindah kehidupan manusia. Dimana seni pertunjukan wayang dalam bentuk pentas dapat menjadi sarana yang efektif dalam memasyarakatkan nilai-nilai luhur dalam khazanah kebudayaan Jawa.


Catatan kaki :
1. Dr. Simuh, Sufisme Jawa,YBB,1995, hlm. 120
2. J.W.M. Bakker, Agama Asli Indonesia, hlm. 10
3. Onghokham, Rakyat dan Negara, Jakarta, 1969, hlm. 39-94
4. C. Geertz, Islam Yang Saya Amati, Jakarta, hlm. 147

Senin, 16 April 2012


Perlawanan dari kubu yang lebih ortodok



Pada abad ke-17 ada 4 ulama sufi yang terkenal di Aceh yang amat besar sumbangannya bagi pemikiran agama dan kesusastraan melayu, yakni Hamzah al-Fansuri, Syamsudin Pasai, Abdul Ar-Rauf Singkel, dan Nuruddin Ar-Raniri. Hari kelahiran dan wafatnya Hamzah al-Fansuri tidak diketahui. Yang jelas dia adalah guru Syamsudin Pasai (wafat 1630 M). Hamzah al-Fansuri banyak terpengaruh Ibnu Arabi dan Abdul Karim Al-Jilli yang cenderung ke paham pantheisme-monoisisme, yaitu suatu faham yang memandang bahwa alam semesta ini merupakan aspek lahir atau tajali (manifestasi, pengejawantahan) dari hakikat tunggal, yakni Tuhan.

Sepeninggal Hamzah al -Fansuri, muridnya Syamsuddin Pasai menjadi penasihat raja atau Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M.) yang sangat dihormati. Dengan bantuan sultan, ajaran Hamzah al-Fansuri dan Syamsudin  boleh dikatakan menjadi paham kerajaan Aceh masa itu, dan mengungguli ajaran-ajaran lain. Syamsudin Pasai tampak mengembangkan ajaran atau konsep martabat tujuh dari ajaran kitab Tufah al-Mursalah ila Rubi an-Nabi karya Muhammad bin Fadillah, seorang ulama sufi Gujarat yang wafat tahun 1620 M. konsep martabat tujuh memang merupakan pengembangan dari tajali  dari Ibnu Arabi. Jadi, dasar pikiran ini memang mengarah ke paham union-mistik(Manunggaling Kawula-Gusti , kesatuan manusia dengan Tuhan). Inti  konsep martabat tujuh adalah ajaran bahwa alam semesta , termasuk didalamnya manusia, merupakan tajjali (penampakan keluar) dari hakikat Tuhan  yang bersifat mutlak. Konsepsi  itu sebanyak tujuh martabat, yakni martabat abadiyah, wahdah, wahidiyah, alam arwah, alam mitsal, alam ajsam, dan alam insani (alam manusiawi). Syamsudin Pasai  yang terpengaruh oleh paham Hamzah al-Fansuri yang berpaham pantheisme, di dalam bukunya Jaubar al-Haqa'iq berusaha mengembangkan konsep martabat tujuh dari kitab Tuhfah tersebut ke arah paham pantheisme. Atas dukungan Sultan Iskandar Muda, paham Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin Pasai akhirnya berkembang dan meluas, terutama di Aceh, dan pengaruhnya merembes dalam kepustakaan Jawa hingga abad ke-19 (dalam serat Centhini, Wirid Hidayah Jati, dan sebagainya). Di Jawa paham martabat tujuh yang cenderung pantheistis ini hidup subur atas dukungan raja-raja Mataram.

Di Aceh paham  Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin Pasai yang bersifat pantheistis ini segera mendapat perlawanan keras dari seorang ulama sufi besar penganut Tarekat Rifa’iyah, yakni Nuruddin Ar-Raniri, seorang Indo-Arab yang berasal dari Rader (Gujarat) yang fasih bercakap menulis dalam bahasa melayu. Ar-Raniri yang berada di Aceh dari tahun 1673 M. sampai 1644 M. berusaha membersihkan pengalaman tasawuf dari paham pantheisme yang dipandang menyimpang dari ajaran martabat tujuh yang sebenarnya. Dalam bukunya Hujjatul Shiddiq li Daf’I al-Zindiq, Ar-Raniri  berusaha menafsirkan ajaran martabat tujuh kearah paham yang lebih ortodok, dan mencela penafsiran Syamsuddin Pasai dan paham Hamzah al-Fansuri sebagai faham Wujudiyah yang sesat (zindiq dan bid’ah). Sesudah Sultan Iskandar Muda wafat dan Sultan Iskandar Tsani yang naik tahta (1637-1641 M.), ternyata segera mendukung paham Ar-Raniri yang lebih ortodoks, sehingga  Ar-Raniri bisa bertindak keras dengan dukungan Sultan. Banyak buku Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin Pasai dibinasakan, serta pengikut-pengikut Wujudiyah dikejar-kejar. Sejak masa itu dapat dikatakan tamatlah riwayat paham pantheisme dalam kalangan tasawuf pesantren dari bumi Sumatra.


Catatan kaki :
1. Dr Simuh, Sufisme Jawa, YBB, 1995 hlm. 53
2. Hamka, Perkembangan Tasawuf dari abad ke abad, Jakarta, 1960, hlm.159-165
3. Ruyani, Roestiyah Notokusumo, dan Marihartanto, Studi kepustakaan tentang identitas Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Jakarta, 1982, hlm. 11-16

Mengenal Wirid Hidayah Jati

Wirid Hidayah Jati merupakan satu bentuk karya Pujangga Ronggowarsito yang berusaha menyelaraskan dan berusaha mempertemukan tradisi kejawen dengan unsur-unsur etika dan filsafat kerohanian tasawuf. Dalam hal filsafat kerohanian dan ketuhanan, Ronggowarsito dalam Wirid Hidayah Jati memilih ajaran tasawuf yang berkembang di Aceh abad ke-17 Masehi, yakni ajaran martabat tujuh yang dikembangkan oleh Syamsudin Pasai dan Abdul ar-Rauf Singkel. Ajaran martabat tujuh ini memang merupakan pengembangan dari ajaran tasawuf  Ibnu Arabi yang sering disebut berpaham monoisme(wahdat al wujud) dengan teori penciptaan tajaliyat-nya, yaitu suatu ajaran yang mengatakan bahwa alam semesta  dan manusia merupakan penampakan keluar (manifestasi) yang bertingkat-tingkat dari yang Maha Esa, yaitu Tuhan. Dalam ajaran martabat tujuh diterangkan manusia-manusia tercipta dari tajalli Dzatullah melalui tujuh martabat. Mengenai perincian dari martabat tujuh sudah disebutkan tadi#1, dalam perkembangan dan perubahannya  Wirid Hidayah Jati ini sering disesuaikan dengan alam pikiran kejawen. Ini merupakan bentuk strategi budaya yang diterapkan oleh Ronggowarsito sebagai Pujangga Mataram untuk menjembatani jurang perbedaan antara lingkungan kebudayaan kejawen dengan lingkungan kebudayaan pesantren.

Minggu, 15 April 2012

Pokok-Pokok Ajaran Wirid Hidayah Jati

        Wirid Hidayah Jati mengajarkan bahwa Zat Tuhan memiliki berbagai macam sifat, asma, dan af'al. Tuhan digambarkan sebagai Zat yang berkehendak  berkarya secara aktif, sebagai pencipta dan penguasa alam semesta. Dengan adanya sifat asma, dan af'al ini berarti wirid hidayah mengajarkan paham ketuhanan yang bersifat Theis.
        Adapun konsepsi tentang manusia , Wirid Hidayah Jati mengetengahkan ajaran martabat tujuh yang berasal dari kitab Al Tuhfah al Mursalah ila Rub al -Nabi karya Muhammad Ibnu Fadlillah (seorang sufi India yang wafat tahun 1620). Martabat tujuh adalah pengembangan dari suatu faham ketuhanan dalam tasawuf yang cenderung ke arah pantheitis-monis. Suatu paham yang mengatakan bahwa segala yang ada di alam semesta ini merupakan aspek lahir dari suatu hakekat yang tunggal, yakni Tuhan. Menurut Muhammad Ibnu Fadlillah, Tuhan sebagai zat mutlak yang kadim tidak dapat diketahui oleh pancaindra, akal maupun khayal (waham). Tuhan sebagai wujud mutlak baru bisa dikenal setelah ber-tajjalli (menampakan keluar) sebanyak tujuh martabat. Ketujuh martabat berurutan sebagai berikut:

a.   Alam Abadiyat, Yaitu martabat Zat yang bersifat la'ta'yun atau martabat sepi. Yaitu zat yang bersifat   mutlak, tiada dikenal oleh siapapun.
b.   Martabat Wahdat dan disebut pula Hakikat Muhammadiyah (Nur Muhammad). yaitu permulaan  ta'yun (nyata pertama) merupakan kesatuan yang mengandung ketajaman dimana belum ada pemisahan satu terhadap yang lainnya. Belum ada perbedaan antara ilmu, alim, dan maklum. Atau ibarat biji  belum ada pemisah antara akar, batang dan daun.
c.   Martabat Wahidiyat yang juga disebut hakikat manusia, Wahidiyat adalah kesatuan yang mengandung kejamakan, dan merupakan ta'yun kedua dimana sebagian telah tampak terpisah-pisah secara jelas. Ibarat ilmu Tuhan terhadap Zat, sifat, dan asma serta segala perwujudan, telah pasti dalam ilmu Tuhan. Dari ketiga martabat batin (Ahadiyat, Wahdat, dan Wahidiyat) yang bersifat kadim dan tetap, muncullah empat martabat lahir dan merupakan a'yan karijah, yaitu
d.   Martabat alam arwah, yaitu segala sesuatu yang masih mujarrad atau basit.
e.   Martabat alam mitsal, yaitu ibarat sesuatu yang tersusun secara halus, tidak dapat dibagi dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya
f.   Martabat alam ajsam, ibarat sesuatu yang telah terukur. Telah jelas tebal tipisnya, dapat dibagi-bagi.
g.  Martabat insan kamil, mencakup keenam mertabat yang terdahulu, yakni tiga martabat batin (Ahadiyah, Wahdat, dan Wahidiyat) dan martabat lahir (alam arwah, alam mitsal, dan alam afsam).

Catatan kaki :
1. Dr. Simuh Sufisme Jawa, YBB, 1995, hlm. 119
2. Mysticism. The teaching or belive that knowledge of Real Truth of GOD may be obtained through meditation or spiritual insight, independently of the mind and the senses (A.S. Horby dkk. Oxford University, hlm. 828)