Minggu, 14 Juli 2013

Memahami Mistisisme




        

Untuk istilah Mistik (Ghaib) seringkali kita dengar untuk sekedar mengatakan itu sesuatu dimensi yang berada di luar jangkauan pemikiran rasional manusia. Terkadang terminologi suatu wacana tekstual secara tidak sengaja menghanyutkan kesadaran kritis, Sehingga (sering) abai terhadap pembeda hakekat dari sebuah teks, yang pada akhirnya terjebak pemaknaan tekstual secara harafiah dan dangkal: teks hanya di pahami sebagai praksis semata-mata.    

      
Maka dari itu diperlukan melatih kesadaran dengan method hermeneutic, juga dipastikan sensitif sejak awal terhadap ke-lain-an teks. Proses menafsirkan teks seperti itu, pasti melibatkan proyeksi nilai, kepentingan dan agenda seseorang ke dalam teks. Demikian pula ketika kita ingin membedah wacana mistisisme, mau tak mau harus merekonstruksi bangunan sebuah wacana literer teks atas nilai, kepentingan serta agenda-agenda yang mendorong seseorang mengintertektualisasiakan ide-idenya. Kadang ada pertanyaan: atas dasar apakah klaim terhadap mistisisme dikatakan irasional? Bukankah mistisisme sering merupakan embrio dari ilmu juga? Lalu apa perbedaan manakah yang menjadi pembedanya? Kelihatannya sulit untuk dijawab, karena pola berpikir kita telah terlanjur di-frame-kan (dalam jalur formal) yang hanya memahami suatu ajaran, entah filsafat Barat atau “filsafat” Timur: memang berbeda.

Istilah mistik sendiri telah digunakan dalam bahasa sehari-hari, walau kesan yang ditangkap agak serampangan dan kabur. Sebagai teks, kata sifatnya biasa digunakan untuk mendiskripsikan suatu obyek, orang, peristiwa atau kepercayaan yang memiliki aspek agak misterius yang terkait dengan pengalaman religius, supra natural, dan magis-gaib. Mistisisme, konon berasal dari kata sifat Yunani, (mistikos), atau misterious. Dugaan banyak sarjana mengatakan, mistikos berasal dari kata Yunani itu berarti “menutup” (to close). Yang juga diartikan sebuah gerakan untuk menutup mata, mulut, atau juga pintu. Berbeda istilah dari perancis, mistisisme itu dari kata la mystique istilah yang pertama kali muncul pada awal abad ke-17 di Perancis. Mistisme, menurutnya, pada awalnya diperkenalkan oleh intelektual-intelektual Barat untuk menamai fenomena atau aspek dalam tradisi Kristen, yang menurut pemahaman mereka menekankan pengetahuan religius yang diperoleh melalui pengalaman luar biasa atau wahyu suci. Ada juga yang lain menganggap misitisisme sebagai, “Bagian terpenting (Tiang) penyangga dari semua keyakinan, bersifat menentang formalitas beku dan ketumpulan religius.” Memiliki tujuan untuk membangun hubungan secara sadar dengan yang Absolut,

Agak rumit memang menelisik pertautan awal antara misitisisme yang dinilai, lebih tepatnya, irasional di satu pihak dan lainnya. Kerumitan akhirnya menemukan titik singgung, dan bisa menjadi penyebabnya orientalisme ketat religius dimasa psikis koloni. Artinya kadang wacana mistis ditempat-kan sebagai “sosok” yang mendominasi dan memarjinalkan batas-batas inferior sesuai dengan orientalisme si penganut. Dalam pemahaman mikro dan makro cosmos, mistism atau magis adalah suatu dimensi yang bereksistensi (memiliki daya) pengaruh atas keberadaannya, yang terkadang tidak untuk dapat ditangkap oleh indra manusia. Jadi diperlukan untuk melatih kesadaran secara (khusus) untuk mendalami hal-hal, atau fenomena yang bersifat irrasional di alam.

Jadi sebelum memahami sebuah wacana, petuah bijak mengatakan:


“Siapa pun yang ingin memahami sebuah teks sebaiknya bersiap untuk mempersilahkan teks itu mengatakan sesuatu padanya…”

Senin, 18 Juni 2012

Sistem Kekerabatan Dalam Budaya Jawa


Merujuk Koentjaraningrat, budaya Jawa adalah budaya yang timbul dan tumbuh dalam kehidupan etnis (suku bangsa ) Jawa, biasanya bermukim di kawasan Jawa Tengah maupun di Jawa Timur. Kebudayaan Jawa tidak biasa dipisahkan dengan pengaruh kerajaan Mataram, sebelum terpecah menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasuhunan Surakarta. Sementara itu Marbangun Harjowirogo tidak memberi batasan spesial terhadap orang yang disebut  sebagai orang Jawa. Menurutnya, mereka yang berpikir dan berperasaan seperti moyang mereka di Jawa Tengah maupun Jawa Timur sebagai pusat-pusat kebudayaan, baik yang berada di pulau Jawa maupun yang tinggal di luar pulau bahkan di Negara lain.

Orang Jawa di jaman kolonialisme berkelompok menjadi beberapa golongan berdasarkan status sosial yaitu wong cilik rata-rata kaum petani dan buruh. Juga golongan priyai termasuk pegawai /ningrat/kaum intelektual dan kaum saudagar pribumi. Disamping lapisan sosial ekonomi itu, masih dibedakan pula atas dasar keagamaan meskipun secara nominal juga beragama Islam namun berbeda cara penghayatannya. Menurut Clifford Greertz kelompok ini dipisahkan menjadi dua golongan, yang pertama adalah Islam Kejawen atau kaum Abangan. Golongan kedua adalah orang-orang Jawa yang berusaha untuk hidup menurut ajaran agama Islam atau golongan Santri.

Dalam sistem kekeluargaan, masyarakat tidak mengenal sistem marga. Meskipun demikian, hubungan kekeluargaan di luar keluarga inti dianggap penting. Demikian juga keturunan dari seorang nenek moyang yang sama merupakan faktor penting dalam masyarakat Jawa dan dianggap sebagai kelompok yang termasuk kerabat. Setiap orang Jawa melihat dirinya sendiri berada di tengah-tengah sebuah tatanan jajaran: kakek-nenek, bapak-ibu, kakak-adik, dan cucu-cucu.

Bagi individu Jawa, keluarga merupakan sarang keamanan dan sumber perlindungan. Dalam keluarga, hubungan antara anggotanya diharapkan berlandaskan rasa cinta (tresna). Di dalam rasa tresna itu nampak apabila orang tidak merasa isin satu sama lainnya. Sebab bagi perasaan Jawa, perbedaan yang berarti secara psikologis adalah perbedaan keakraban (tresna) dan hubungan yang menuntut sikap hormat. Hanya di dalam keluarga sajalah suasana akrab ideal, kurang lebih terwujud.

Di dalam keluarga pulalah orang Jawa belajar mengembangkan keutamaan-keutamaan seperti belas kasihan, kebaikan, kemurahan hati, kemampuan untuk menangkap kegelisahan orang lain, rasa tanggung jawab sosial, keprihatinan terhadap sesama dan semacamnya. Keluarga adalah tempat berkembangnya suatu perasaan moral praktis yang teramat mendalam, yang tidak memerlukan legitimasi teoritis. Keluarga bagi orang Jawa merupakan guru pertama yang mengajarkan bagaimana ia harus berperasaan, berpikir, dan bersikap menghadapi realitas. Oleh karena itu  seorang ibu  Jawa diharapkan mampu mendidik anak-anaknya sekaligus memberi rasa tresna dan rasa aman. Mereka itulah yang memberikan kepadanya kesejahteraan emosional serta titik keseimbangan dalam orentasi sosial. Di sini proses sosialisasi merupakan suatu proses berkesinambungan di sepanjang sejarah kehidupan pribadinya. Keluarga terdekat itulah yang dengan tegur sapanya dari hari ke hari lewat peragaan kongkret dalam sikap keseharian mereka, menjaga agar anak tidak terlalu jauh menyeleweng dari rel kaidah-kaidah budaya mereka. Perkembangan anak benar-benar tergantung pada lingkungan mereka.

Apabila orang Jawa telah dewasa, maka ia telah membatinkan bahwa kesejahteraanya bahkan eksistensinya tergantung pada kesatuan kelompoknya. Dengan demikian, secara piskologis, orang Jawa membutuhkan dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa, yaitu kerukunan dan prinsip hormat. Rukun secara psikologis diterjemahkan di dalam keadaan dimana tidak terdapat perasaan-perasaan negative, yaitu suatu keadaan yang aman dan tentram. Prinsip rasa hormat adalah setiap orang dalam bersikap dan membawa diri dalam hal pola interaksi dalam masyarakat Jawa. Prinsip ini mengatakan bahwa setiap orang dalam bersikap dan membawa diri serta dalam cara berbicara, hendaknya selalu harus memperlihatkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai derajat dan kedudukannya.

Dalam prinsip hormat ini, bahasa memainkan peranan yang penting, sebab dalam pemakaiannya, mengungkapkan tatanan yang ada. Penggunaan bahasa Jawa mengandaikan kesadaran akan kedudukan sosial masing-masing. Dan dalam kefasihannya menggunakan sikap-sikap hormat yang tepat, seorang Jawa mengembangkan sejak kecil lewat pendidikan keluarga, terutama dari sang ibu, khususnya dalam hal tatakrama. Sebab dalam pemeliharaan bentuk tatakrama yang terwujud dalam sikap tubuh, isi dan bentuk pembicaraan itu dimaksudkan untuk menciptakan situasi yang tenang dan mantap di segala bidang hubungan sosial yang ada, serta berlaku pula sebagai kekuatan pemersatu yang kuat dalam masyarakat Jawa.

Dalam bukunya Etika Jawa, Magnis Suseno mengutip pandangan Hildred Greertz yang mengatakan  bahwa pendidikan mengenai kefasihan menggunakan sikap-sikap hormat yang tepat itu tercapai melalui tiga perasaan yang dipelajari oleh anak Jawa dalam situasi-situasi yang mengharuskan sikap hormat kepada orang lain. Yaitu menjadi wedi (takut),  isin (malu), dan sungkan (rasa segan, sopan, hormat). Wedi, isin, sungkan merupakan suatu kesinambungan perasaan-perasaan yang mempunyai fungsi sosial untuk memberi dukungan psikologis terhadap tuntutan-tuntutan prinsip hormat.

Bagi orang Jawa, seseorang yang sungguh-sungguh bijaksana yaitu orang yang telah sampai pada “rasa” yang sebenarnya dapat dikenali karena kehalusannya. Kehalusan bathiniah adalah apabila seseorang mempunyai sifat-sifat yang  luhur, mampu mengendalikan hawa nafsunya, berbudi, kuat tapa dan matiraganya. Kehalusan seperti itu menampakan diri dalam sopan-santun  berbahasa, dalam sikap pergaulan, dalam hidup religius, dalam pekerjaan dan aspek-aspek kehidupan lainnya.

Kehalusan dalam pemakaian bahasa adalah pemilihan kata-kata yang tepat dan cocok untuk dipergunakan terhadap siapa ia sedang berhadapan dan berbicara. Dalam bahasa Jawa, ada tingkatan pokok yang menjadi landasan untuk menerapkan ketepatan pemakaian tersebut. Tingkatan ini adalah bahasa Jawa ngoko, kromo, dan kromo inggil.

Kehalusan lain yang terwujud pada sikap seorang Jawa adalah kehalusan dalam pergaulannya. Disamping kemampuan memakai bahasa yang tepat, juga ditekankan keharusan sikap hormat atau andap asor (rendah hati) yang memainkan peran penting dalam pergaulan. Orang Jawa mengidentikkan ketinggian seseorang dengan pangkatnya. Semakin tinggi pangkat seseorang, makin ia dihormati atau dihargai.

Salah satu bentuk tata sopan-santun atau basa-basi pergaulan juga dinilai positif adalah kemampuan orang Jawa untuk bersikap ethok-ethok (pura-pura). Ethok-ethok itu diperlihatkan di luar lingkungan keluarganya itu merupakan cara seseorang Jawa untuk tidak memperlihatkan perasaan-perasaan sebenarnya dalam pergaulan demi menjaga ketertiban agar tetap berlangsung. Rasa benci, marah, sedih, tak puas, dan semacam itu sedapat-dapatnya disembunyikan. Orang Jawa diharapkan untuk menghindari keterus-terangan  yang serampangan

Dalam dunia batin orang Jawa idealnya memiliki sikap sepi ing pamrih, suatu sikap yang tak ingin memaksakan kehendak dan kepentingannya sendiri tanpa memperhatikan kepentingan sesama, yang mengandung sikap eling, sabar, dan nrimo. Sikap eling adalah sikap yang selalu ingat asal-usulnya. Bahwa ia berasal dari Yang Illahi dan dengan rendah hati tahu siapa dirinya, dan termasuk  didalamnya adalah sikap mawas diri dan sekaligus bangga akan asal-usulnya. Sikap sabar terwujud dalam keadaan yang tidak tergesa-gesa, tidak khawatir dalam menghadapi sesuatu. Memiliki kesadaran akan terjadinya segala sesuatu itu sebagaimana memang semestinya sudah harus terjadi. Bagi orang Jawa masalah waktu tidak menjadi persolan penting, yang lebih penting adalah tercapainya suatu tujuan, alon alon waton kelakon.

Sikap nrimo bukan berarti asal menerima saja nasib yang menimpanya tetapi memiliki arti yang lebih mendalam. Meskipun menderita misalnya, tetapi tetap bereaksi secara wajar dan bisa membawa diri dalam situasi seperti itu, dan menunjukan suatu  kemampuan batin untuk menerima keadaan. Jadi bukan nrimo dalam arti kepasrahan terhadap nasib dalam ketidakberdayaan dan keputusasaan. Kemudian sikap ikhlas merupakan suatu batin yang merelakan apa saja. Tidak egois dan tidak rakus, tercermin dalam budi luhur dimana antara lain mempunyai kesanggupan untuk bersedia melepaskan apa saja yang dimilikinya atau apa yang merupakan kemampuan jika itu menjadi tuntutan tanggung jawab atau nasibnya.

Demikianlah sosok manusia Jawa yang begitu komplet dengan tingkatan bahasa yang menonjol, seolah memberi kesan harus berfikir dulu sebelum melangkah. Selalu mengambil sikap memenuhi kewajiban untuk menjaga tatanan dan keselarasan, baik dengan dirinya sendiri maupun dengan sesamanya dengan realitas yang dihadapai. Upacara ritual adat Jawa selalu ditujukan sebagai ungkapan puji syukur masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa.



Catatan Kaki

1. Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka 1985
2.  Marbangun Hardjowirogo, Manusia Jawa, Jakarta: Idayu Press 1984
3.  Geertz,  Hildred, Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Press 1983
4.  Frans Magnis Suseno, Etika Jawa, Jakarta: Gramedia 1984
5.  Arifin  Suryo N.  Biografi Hartini Soekarno, Yogyakarta: Ombak 2009

Rabu, 09 Mei 2012

Raden Said



Kadilangu terletak tak jauh dari Demak Jawa Tengah. Kalau anda datang dari arah Semarang, sebelum sampai ke Demak bisa mampir ke Kadilangu dulu. Udara biasanya panas, tapi orang-orang yang datang mengalir tanpa putus wajahnya begitu tulus. Memang  di sanalah terdapat makam yang “paling dikeramatkan di  Jawa Tengah”, yakni makam Sunan Kalijaga.

Raden Said/Sunan Kalijaga ini adalah putra dari Tumenggung Wilatikta dengan  Dewi Nawangrum, Tumenggung Wilatikta adalah Bupati Tuban yang ke VIII beliau masih keturunan dari Bupati Tuban yang ke II Raden Aryo Ronggolawe. Raden Said/Sunan Kalijaga ini memiliki seorang adik perempuan dengan nama Dewi Rasawulan. Kelak Dewi Rasawulan ini menikah dengan Raden Jaka Supa.

Raden Jaka Supa adalah keturunan Empu keraton Majapahit, yaitu Ki Pitrang/Ki Supa Mandrangi /Pangeran Sedayu. Raden Jaka Supa adalah arsitek keris Kyai Naga Sasra dan Keris Kyai Sabuk Inten yang terkenal itu.

Sesungguhnya, Keris Kyai Naga Sasra maupun Keris Kyai Sabuk Inten, adalah sebuah simbol semata. Naga Sasra berasal dari bahasa sanskerta Nagha Sahasrara yang berarti Seribu Naga. Ini melambangkan banyaknya kekuatan-kekuatan laten Majapahit yang masih memiliki kekuatan militer dan masih memiliki pengaruh besar dipelosok Nusantara.

Sedangkan Sabuk Inten berarti Ikat Pinggang Intan yang melambangkan para investor ekonomi lokal maupun mancanegara sebagai sumber keuangan yang sangat menentukan perputaran roda perekonomian negara.

Raden Jaka Supa bukan orang sembarangan. Ayahandanya, Ki Pitrang/Ki Supa Mandrangi, sangat berpengaruh didalam negeri Majapahit dan mancanegara waktu Majapahit masih berdiri. Pekerjaannya sebagai penyedia persenjataan militer negara, menjadikan Ki Pitrang banyak memiliki relasi.

Apabila anda pernah dengar sebuah pedang kuno yang menjadi kebanggaan Dr. Sun Yat Sen, pendiri Taiwan yang bernama Pit-Kang, sesungguhnya pedang tersebut adalah hasil tempaan Ki Pitrang, sehingga namanya pun masih disebut Pitrang walaupun dalam logat China. Pedang ini masih disimpan di Taiwan. Pedang tersebut adalah hadiah Raja Majapahit kepada Kaisar Tiongkok. Dan tidak tahu bagaimana ceritanya, pedang kuno yang berasal dari Majapahit tersebut bisa dibawa lari oleh Dr. Sun Yat Sen ke Taiwan setelah Tiongkok berhasil dikuasai kaum komunis.

Kebesaran nama Ki Pitrang inilah, menjadikan Raden Jaka Supa, sebagai anak laki-laki satu-satunya dari istri yang berasal dari Majapahit ( seorang lagi, istri Ki Pitrang berasal dari Blambangan. Dari istri Blambangan ini, beliau mempunyai seorang putra bernama Jaka Sura, yang meninggal sewaktu berusia belia. Praktis, putra Ki Pitrang tinggal Raden Jaka Supa. : Damar Shashangka), sangat disegani. Para sisa-sisa Bangsawan Majapahit, yang masih memiliki pengaruh dalam bidang ekonomi maupun militer dan masih banyak tersebar di beberapa pelosok Nusantara serta yang disimbolkan dengan Keris Kyai Naga Sasra, ditambah para investor asing yang disimbolkan dengan Keris Kyai Sabuk Inten, sangat-sangat menghormati Raden Jaka Supa adik ipar dari  Raden Said. : Damar Shashangka).

Kelak Raden Jaka Supa dan Raden Said ini akan bahu-membahu membantu berdirinya kerajaan Islam Demak Bintara beserta penerusnya dan penyebaran agama  Islam di tanah Jawa.

Raden Said kecil hidup terdidik dalam lingkungan istana Bupati Tuban. Pada dasarnya beliau memang gandrung terhadap ilmu dan selalu tanggap waskita. Kepiawaian, kecerdasan, dan kepekaan Raden Said terhadap kandungan ilmu tuwa pun menjadi buah bibir para ulama sepuh, pujanggah, dan pinisepuh istana Tuban. Adapun apa saja yang diajarkan para guru maupun pinisepuh istana, mampu diselesaikan hingga tamat oleh Raden Said. Selain berguru pada pinisepuh dan orang-orang yang didatangkan oleh ayahhandanya, Raden Said juga berguru pada wong kang linuweh di luar istana.

Pergaulan Raden Said di luar istana, dan melihat keadaan rakyat yang serba kesulitan. Situasi yang tidak menentu setelah perang perebutan kekuasaan di Majapahit oleh Raden Patah dari Demak Bintara maupun Girindrawardhana dari Keling, Kedhiri (tahun 1466-1473 M). Telah membuat kehidupan rakyat Tuban menjadi sulit. Penarikan upeti sembarangan guna membiayai perang melawan pemberontak dalam kerajaan Majapahit membuat rakyat semakin terjepit. Kekurangan kebutuhan hidup menjadi pemandangan sehari-hari yang memilukan di wilayah itu. Bagi Raden Said muda, kepasrahan tidaklah cukup untuk mengatasi kesulitan hidup di masyarakat kecil, apalagi banyak munculnya kriminalitas yang meresahkan masyarakat. Ia harus bertindak walaupun itu perbuatan yang tercela dan ia harus menanggung resikonya, diusir dari istana karena aksi nekat mencuri bahan makanan yang disimpan di gudang istana,  yang dapat digagalkan oleh petugas. Segala aksi begal di luar istana ia jalani demi membantu rakyat kecil. Mulai merampok upeti, menjarah harta pejabat-pejabat kecil desa, dan membagikanya kepada rakyat miskin. Selain merampok ia juga menyadarkan perampok-perampok lainnya agar tidak menggangu rakyat miskin. Oleh karena itu ia mendapat gelar si maling aguna atau berandal Lokajaya, atau perampok budiman. Ia sangat di segani oleh perampok lainnya, selalu berempati terhadap kaum tak berpunya. Walau dalam hati Raden Said menyadari mungkin itu semua salah dan dilarang menurut ilmu yang ia pelajari dari guru-gurunya di istana.

Ketika berandal Lokajaya menjadi semakin menjadi dan menguasai wilayah hutan Glagah Wangi, tak jauh dari kadipaten Demak yang baru berdiri. Ia di datangi oleh ulama besar anak sulung dari Sunan Ampel Denta yaitu Maulana Makdum Ibrahim/Sunan Bonang yang sedang dalam perjalanan menuju ke Demak Bintara. Menurut silsilah dari keturunan Ronggolawe/Bupati Tuban II, Raden Aryo Adikoro Bupati Tuban VI, adalah cicit dari Ronggolawe ini mempunyai dua putra, Raden Ayu Aryo Tejo dan Kyai Ageng Graseh. Raden Ayu Aryo Tejo (putri) menikah dengan Syeh Ngabdurahman (putra) dari Syeh Jali/Kyai Makam Dawa/Ngalimurtala dari Gresik (saudara dari Sunan Ampel Denta). Syeh Ngabdurahman menjadi Bupati Tuban yang ke VII dengan gelar Raden Aryo Tejo. Dan Raden Aryo Tejo ini digantikan  oleh putranya yaitu Raden Aryo Wilantikta atau ayah dari Raden Said, menjadi Bupati Tuban yang ke VIII. Jadi Raden Said masih kerabat dekat dengan Syeh Maulana Makdum Ibrahim/Sunan Bonang.

Berbagai kisah telah diceritakan tentang pertemuan antara Raden Said dengan Sunan Bonang. Akhirnya Raden Said menginsafi perbuatannya dan beliau diangkat oleh Sunan Bonang menjadi muridnya setelah diberi wejangan (ilmu) tentang wawasan berketuhanan dan dinamika masyarakat di masa itu. Tugas utama Raden Said adalah “Njogo kali”, atau menjaga aliran kepercayaan di tengah masyarakat yang sudah heterogen. Tongkat perlambang petunjuk jalan yang diharapkan kelak masyarakat tidak akan lagi tersesat, dan tetap memegang prinsip-prinsip Islami (Al Quran dan Hadist Nabi). Walau cara berdakwah nantinya akan menghadapi budaya lokal yang telah bercokol kuat, diharapkan tidak menimbulkan konflik yang berlarut-larut. “Sungai akan selalu mengalir, sedang noda yang menempel akan hilang dengan sendirinya” ujar Sunan Bonang kepada Sunan Kalijaga. Sepeninggal Sunan Bonang, Raden Said pun diangkat menjadi Sunan dengan gelar Kalijaga, seperti maksud dan tujuan, yang telah diuraikan.

Sekilas memang tampak ada sisi kebadungan dari Raden Said ini, yang justru menjadi orisinil dan sangat penting bagi kelanjutan penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Selain itu juga Raden Said merupakan wali yang sangat vital, sebagai penghubung legitimasi kekuasaan dari Majapahit ke Mataram Hadiningrat. Perseteruan antara Sunan Kudus dan Giri Kedaton dalam penerus tahta kerajaan Demak sepeninggal Sultan Trenggana akhirnya dapat diredam dengan kemenangan dari murid Sunan Kalijaga, Hadiwijaya (menantu Sultan Trenggana) melawan Arya Penangsang (keponakan Sultan Trenggana) jago dari Sunan Kudus. Dengan bantuan dari Ki Ageng Pamanahan beserta putranya Panembahan Senopati akhirnya Aryo Penangsang gugur di medan perang pada tahun 1549 M. Dengan naiknya Hadiwijaya (atas restu Sunan Giri Prapen) sebagai Sultan di Pajang pengaruh Kudus sudah mulai berangsur-angsur surut. Pengaruh besar Sunan Kalijaga ini tak tepas juga dari strategi Sultan Trenggana yang menikahkan Raden Said/Sunan Kalijaga dengan putri orang suci dari tlatah kulon Sunan Gunung Jati, meminjam wibawa (istilahnya) dari Sunan Gunung Jati untuk menandingi wibawa Sunan Kudus di lingkungan kerajaan Demak Bintara.

Setelah kerajaan Demak jatuh, penerusnya Hadiwijaya (Pajang) tidak memiliki pengganti yang kuat di bidang pemerintahan. Sunan Kalijaga menunjuk Panembahan Senopati (Sutawijaya) sebagai penerus dari Sultan Hadiwijaya dan membujuk anak dari  Hadiwijaya yang juga salah satu muridnya yaitu, Sunan Benawa untuk meninggalkan urusan duniawi dan memilih menjadi ulama, dengan menumbuh suburkan pesantren-pesantren di tanah Jawa. Sunan Benawa ini patut untuk dijuluki bapak pesantren di Indonesia.

Pemberontakan Ki Ageng Pengging (ayah Hadiwijaya) terhadap Dewan Walisanga Demak. (intervensi dari ajaran Syeh Lemah Abang yang juga guru dari Ki Ageng Pengging). Dapat diselesaikan walau dengan berat hati. Ki Ageng Pengging/Kebo Kenanga dan para pengikut Syeh Lemah Abang harus mengakhiri (hidupnya) jika menolak ultimatum yang diberikan Walisanga untuk bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Walaupun pengikut Syeh Siti Jenar sudah surut namun pokok-pokok ajaran(nya) masih menjadi bahan perdebatan hingga saat ini.

Dalam berkompromi dengan para Wali lainnya, terutama yang paling keras perlawanan dari Sunan Kudus maupun Sunan Giri. Sunan kalijaga yang sangat kreatif, mengubah boneka wayang yang semula tiga dimensi menjadi dua dimensi (wayang kulit) supaya tidak seperti patung (yang di Saudi Arabia hal itu biasa dianggap berhala). Beserta sarananya, keber (kain putih), debog (batang pisang), kotak kayu, yang semuanya memiliki makna tersendiri. Dalam pembangunan Masjid DemakSunan Kalijaga pun turut berperan mendirikan tiang penyangga, yang berbeda dengan tiang-tiang lainnya. Karena tiang tersebut bukanlah terbuat dari bahan (kayu) yang utuh, melainkan kayu yang sudah disambung-sambung atau Saka Tatal. hingga saat ini Saka Tatal masih kuat menyangga Masjid Demak. Saka Tatal mungkin makna/simbol dari penyebaran agama Islam di tanah Jawa.

Upaya yang telah dilakukan oleh Raden Said/Sunan Kalijaga dalam penyebaran agama Islam baik kultural maupun struktural telah berhasil dengan baik, setidaknya mampu menghindari konflik dengan budaya lama yang telah bercokol kuat di Bumi Nusantara

Catatan kaki
1.      Sembilan Wali dan Siti Senar, SGA 2007, Hlm 119-131.
2.      Sunan Kalijaga, Wawan Susetya, Diva Press 2009, Hlm 10-13
3.      Ki Ageng Mangir, Sugeng Pramana, Gelombang Pasang 2006, Hlm 213-220
4.      Damar Shashangka, Blog,

Jumat, 27 April 2012

Raden Paku


Di awal abad 14 M, Kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu Menak Sembuyu, konon masih salah seorang keturunan Prabu Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit. Raja dan rakyatnya memeluk agama Hindu dan ada sebagian yang memeluk agama Budha.

Suatu ketika, kerajaan terkena wabah penyakit. Akibat wabah tersebut banyak penduduk yang jatuh sakit dan tewas. Salah satu yang sakit adalah Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak Sembuyu. Sakitnya sang putri sudah berminggu-minggu, raja khawatir keadaan putrinya kian hari kian bertambah parah. Sudah menjadi tradisi raja-raja di Jawa, jika keluarga raja mengalami masalah, sering diadakan sayembara dengan imbalan tertentu bagi yang bisa menyelasaikannya.

Patih Bajul Sangara mendapat tugas untuk menyelenggarakan sayembara tersebut, atas saran Rsi Kandabaya seorang petapa yang biasanya tinggal di daerah pegunungan memberi petunjuk tentang orang sakti dari negeri seberang yang sedang menyebarkan agama baru, Orang tersebut bernama Syekh Maulana Ishak. Syekh Maulana Ishak konon adalah teman seperjuangan Syekh Maulana Malik Ibrahim (Ayahanda Sunan Ampel Denta) dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Kanjeng Maulana Ishak selain pintar berdakwah juga pandai di bidang ilmu ketabiban, atas usaha sungguh-sungguh dan karomah Allah sang putri Dewi Sekardadu akhirnya sembuh dari sakitnya. Pegebluk juga lenyap di wilayah Blambangan. Sesuai janji Raja maka Syekh Maulana Ishak dikawinkan dengan Dewi Sekardadu. Dan akan diberi kedudukan sebagai Adipati untuk menguasai sebagian wilayah Blambangan.

Prastawa pernikahan tersebut menjadi catatan tersendiri bagi rakyat Blambangan yang mayoritas beragama Hindu. Karena upacara pernikahan sangat sederhana dan mudah dan sebelumnya tidak pernah terjadi dalam adat Blambangan. Babad Tanah Jawi mengisahkan, menjelang upacara pernikahan terjadi ketegangan antara Kanjeng Maulana Ishak dengan pihak istana. Hal ini berasal dari soal makanan. Sesuai ajaran Islam, Kanjeng Maulana Ishak melarang semua makanan yang berasal dari daging babi dan juga jenis daging lain (daging anjing) misalnya, yang diharamkan oleh agama. Sementara pesta tanpa daging babi bagi rakyat Blambangan dianggap tidak sah. Keributan itu akhirnya biasa diselesaikan “sanajan mekaten iseh” mengganjal di hati Sang Prabu. Upacara tersebut akhirnya berhasil sesuai adat dan tata cara agama baru di negeri Blambangan. Sikap Maulana Ishak yang rendah hati dan ilmunya yang luas membuat rakyat Blambangan banyak yang terpikat. Sehingga semakin hari banyak yang ikut dan berguru pada Kanjeng Maulana Ishak.

Hal ini tentunya meresahkan hati Sang Prabu, karena merongrong wibawa kerohanian, istana merasa tersaingi oleh ajaran agama baru ini. Untuk itu Patih Bajul Sangara disuruh membereskan  usaha-usaha penyebaran agama oleh Kanjeng Maulana Ishak. Dengan segala tipu daya dan teror dilakukan untuk mengusir Kanjeng Maulana Ishak dari tlatah Blambangan. Akhirnya Kanjeng Maulana Ishak menyingkir, setelah berijtihad dan mendapat petunjuk dari Allah. Mungkin belum saatnya bagi rakyat Blambangan berbondong-bondong memeluk agama Islam. Tapi saatnya nanti akan menjadi tlatah Islam yang menonjol.
Sebelum meninggalkan Blambangan Kanjeng Maulana Ishak pamit dulu kepada istrinya yang lagi hamil, kalau lahir nantinya laki-laki namakan Raden Paku bila perempuan terserah dinamakan apa. Kemudian Kanjeng Maulana Ishak pergi ke Pasai, sebelumnya singgah di Ampel dulu.

Sepeninggal Kanjeng Maulana Ishak,  Patih Bajul Sangara yang juga menaksir Sang Putri menghasut Prabu Menak Sembuyu supaya membuang bayi yang baru dilahirkan oleh Dewi Sekardadu, karena dikawatirkan akan membawa bencana bagi kawula Blambangan. Dengan berat hati Sang Prabu akhirnya melarung bayi tampan ini (Raden Paku) atau cucunya ke laut.

Alkisah bayi ini akhirnya ditemukan oleh nahkoda kapal dalam sebuah peti terbuka lengkap (mungkin) dengan peralatan bayi dan nama yg tertera pada benda tsb. Dan dibawa bersama kapal yang sedang berlayar menuju pelabuhan  Gresik. Setibanya di Gresik ia diserahkan pada sang pemilik kapal yaitu Nyai Gede Pinatih. Nyai Gede Pinatih ini pengusaha sekaligus janda dari Patih Samboja, bekas abdi dalem istana Blambangan juga yang diusir raja, lalu pindah ke Kerajaan Majapahit (saat memasuki jaman kemunduran), dan diutus kerajaan untuk tugas di Gresik.(1). Bayi ini segara diasuh jadi anak angkat dan diberi tetenger oleh Nyai Gede dengan nama tambahan Joko Samudro.

Ketika berumur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samodra atau Raden Paku  untuk berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya. Sewaktu mondok di pesantren Ampeldenta, Raden Paku sangat akrab bersahabat dengan putra Raden Rahmat yang bernama Raden Makdum Ibrahim(Sunan Bonang).

Ketika Raden Paku sudah beranjak dewasa Sunan Ampel memberitahukan perihal tentang siapa dirinya, dan menyuruhnya segera menemui ayahandanya di Pasai yaitu Syekh Maulana Ishak atau Syeh Awwalul Islam. Raden Paku berangkat ke Pasai bersama sahabat karibnya Raden Makdum Ibrahim untuk berguru dan menemui ayahandanya.

Syekh Maulana Ishak terharu menerima kedatangan dua pemuda dari tanah jawa ini. Yang salah satunya adalah putranya sendiri. Kelak setelah menimba ilmu di Pasai, Syekh Maulana Ishak memberi tugas kepada dua pemuda ini untuk menyebarkan Islam di seluruh pelosok Jawa. Untuk Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) harus menyebarkan agama Islam di pedalaman tanah Jawa, sedang putranya Si Raden Paku(Sunan Giri I) menyebarkan Islam di pesisir pantai Jawa dan wilayah timur pulau Jawa.

Raden Paku memiliki dua istri, istri pertama putri dari Sunan Ampel Denta yaitu Dewi Murtasiah. Yang kedua Dewi Wardah putri bangsawan Majapahit Ki Ageng Supa Bungkul. Kelak peran serta Raden Paku atau yang terkenal dengan sebutan Sunan Giri I akan sangat menentukan bagi berdirinya kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak dan penyebaran agama Islam di wilayah Indonesia Timur. Dan penerusnya, Sunan Dalem (Giri II) berperang di pihak Demak menyebarkan Islam di pelosok Jawa, menyerang Kadipaten Sengguruh(Malang/Pasuruan) yang enggan mengakui kekuasaan Islam Demak. Juga penerus lainnya Sunan Prapen (Giri IV) menggantikan posisi kakaknya Sunan Giri III yang gugur dalam ekspedisi Sultan Trenggana di Panarukan.

Ada kebijakan krusial dari Giri Kedaton di jaman Sunan Prapen masih hidup yaitu, mengangkat Hadiwijaya (menantu Sultan Trenggana) yang berkedudukan Di Pajang, sebagai penerus kesultanan Islam Demak yang sah. Hal ini tentunya merupakan salah satu bentuk dukungan moral setelah kematian Sultan Trenggana dan keributan di Kerajaan Islam yang masih muda ini. Hal yang menjadikan krusial karena di masa itu banyak Adipati-adipati di Jawa Timur (bekas kerajaan Majapahit) yang masih enggan mengakui kekuasaan ekspansif kerajaan Islam dari Jawa Tengah ini (Mataram Hadingrat). Sehingga hampir terjadi pertempuran besar antara Senopati Mataram Hadiningrat (Sutawijaya) beserta bregadenya melawan bregade dari persatuan Adipati Jawa Timur yang dipimpin Adipati Surabaya (Kanjeng Panembahan Ratu Jayalengkara) yang masih keturunan dari Sunan Ampel di tahun 1589. Tetapi akhirnya dapat di damaikan oleh Kanjeng Sunan Giri Prapen, sehingga Bregade Mataram Hadiningrat yang dipimpin Senopati Sutawijaya tidak sampai berekspansi ke pelosok Jawa Timur. Yang kelak ekspansi ini akan diteruskan oleh cucunya Kanjeng Sultan Agung. Di masa Sultan Agung inilah kewibawaan kerohanian Giri Kedaton sudah mulai menurun, disebabkan kerena Sultan Agung enggan melibatkan trah dari Giri Kedaton  di Kerajaan Islam Mataram Hadiningrat.

Catatan Kaki