Kamis, 29 Agustus 2013

Melestarikan Warisan Budaya

Wayang




Keindahan adalah bagian dari kehidupan yang memiliki sifat universal. Dengan kata lain ia memiliki tingkatan kualitas dan juga terbatas dalam hubungannya dengan indra.  Unsur-unsur yang melekat daripadanya dapat dicerap (indra) dalam bentuk kelembutan, kebaikan, keutamaan budi, keselarasan dan jika sesuatu yang berharga disitu dipastikan ada nilai yang indah. Misal Bentuk karya seni yang keluar memiliki pernyataan rasa sadar/non sadar  atas kondisi yang alamiah, dimana setiap insane ciptaan-Nya memiliki nilai-nilai tersebut.

Wayang, bayang/ayang adalah gambaran abtrak dari kehidupan  yang memiliki perlambang, symbol budaya dari masa lampau dan mungkin secara logis/non logis masih mempengaruhi pola kehidupan manusia.  Symbol atau perlambang memiliki tali pertautan dengan kehidupan, menjembatani pola pemikiran dari generasi ke generasi, kadang symbol merupakan pola/pertanda untuk menangkap hal – hal atau pesan yang tersamar dan sulit dicerap yang bersifat mengingatkan akan keterbatasan, gejolak perubahan, atau kemalangan, cinta-kasih .  Di mana rasa sulit dijelaskan (abstrak) akan terangkum dalam symbol tersebut. Selain itu Wayang juga digunakan sebagai ritual adat mewakili rasa syukur atas Rahmat dan Karunia Tuhan Yang Maha Esa.

Pada dasarnya lakon Wayang ada bermacam-macam, diambil dari naskah dua kitab Ramayana maupun Mahabaratha. Bentuk dan pagelaran wayang ada beberapa jenis : yaitu Wayang Kulit, Wayang Golek, Wayang Orang, Wayang Beber, Wayang Krucil. Dalam kehidupan masyarakat, di Jawa umumnya nilai-nilai kewajaran dan keharmonisan sangat diutamakan. Selain itu juga menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan azas kebersamaan/gotong royong, dimana segala persolan/perbedaan selalu dapat dimusyawarahkan terlebih dahulu. Wayang mendapat tempat, untuk memberi bimbingan, petuah, pesan leluhur dengan karakter (tokoh)  yang ditampilkan.

Figure / karakter (tokoh) wayang yang menjadi panutan oleh setiap insan, selalu mengingatkan akan prinsip yang harus di junjung dalam menjalankan kewajiban, ketabahan menghadapi cobaan, rela berkorban untuk kepentingan orang banyak. Kebijaksanaan dalam mengambil keputusan, dan juga mendidik kemampuan dalam berfikir. Menggabungkan berbagai peristiwa yang mempengaruhi perkembangan kebudayaan melalui tokoh dalam lakon . Berusaha  menerima kondisi dan merumuskan langkah apa yang terbaik untuk dilakukan.

Mengambil dari bait yang di tulis dalam Kitab Wulang Reh (Paku Buwono IV) Pupuh Maskumambang:

Kang atuduh marang sampurnaning urip,
Tumekeng antaka,
Madhangken petenging ati,
Abeneraken marga mulya

Terjemahan:

Yang memberi pelajaran tentang kesempurnaan hidup
Sampai mati
Menerangi gelapnya hati
Membetulkan kepada jalan yang mulia

Demikian seperti ungkapan tersebut,  dimana setiap pertujukan wayang, akan mengigatkan (penonton) agar untuk jangan melupakan kebudayaan warisan leluhur. Selalu menjaga martabat  dan kesatuan bangsa, memberikan tauladan setiap ke generasi, berdasar pada nilai-nilai Ketuhanan dan Kemanusiaan.

Minggu, 14 Juli 2013

Memahami Mistisisme




        

Untuk istilah Mistik (Ghaib) seringkali kita dengar untuk sekedar mengatakan itu sesuatu dimensi yang berada di luar jangkauan pemikiran rasional manusia. Terkadang terminologi suatu wacana tekstual secara tidak sengaja menghanyutkan kesadaran kritis, Sehingga (sering) abai terhadap pembeda hakekat dari sebuah teks, yang pada akhirnya terjebak pemaknaan tekstual secara harafiah dan dangkal: teks hanya di pahami sebagai praksis semata-mata.    

      
Maka dari itu diperlukan melatih kesadaran dengan method hermeneutic, juga dipastikan sensitif sejak awal terhadap ke-lain-an teks. Proses menafsirkan teks seperti itu, pasti melibatkan proyeksi nilai, kepentingan dan agenda seseorang ke dalam teks. Demikian pula ketika kita ingin membedah wacana mistisisme, mau tak mau harus merekonstruksi bangunan sebuah wacana literer teks atas nilai, kepentingan serta agenda-agenda yang mendorong seseorang mengintertektualisasiakan ide-idenya. Kadang ada pertanyaan: atas dasar apakah klaim terhadap mistisisme dikatakan irasional? Bukankah mistisisme sering merupakan embrio dari ilmu juga? Lalu apa perbedaan manakah yang menjadi pembedanya? Kelihatannya sulit untuk dijawab, karena pola berpikir kita telah terlanjur di-frame-kan (dalam jalur formal) yang hanya memahami suatu ajaran, entah filsafat Barat atau “filsafat” Timur: memang berbeda.

Istilah mistik sendiri telah digunakan dalam bahasa sehari-hari, walau kesan yang ditangkap agak serampangan dan kabur. Sebagai teks, kata sifatnya biasa digunakan untuk mendiskripsikan suatu obyek, orang, peristiwa atau kepercayaan yang memiliki aspek agak misterius yang terkait dengan pengalaman religius, supra natural, dan magis-gaib. Mistisisme, konon berasal dari kata sifat Yunani, (mistikos), atau misterious. Dugaan banyak sarjana mengatakan, mistikos berasal dari kata Yunani itu berarti “menutup” (to close). Yang juga diartikan sebuah gerakan untuk menutup mata, mulut, atau juga pintu. Berbeda istilah dari perancis, mistisisme itu dari kata la mystique istilah yang pertama kali muncul pada awal abad ke-17 di Perancis. Mistisme, menurutnya, pada awalnya diperkenalkan oleh intelektual-intelektual Barat untuk menamai fenomena atau aspek dalam tradisi Kristen, yang menurut pemahaman mereka menekankan pengetahuan religius yang diperoleh melalui pengalaman luar biasa atau wahyu suci. Ada juga yang lain menganggap misitisisme sebagai, “Bagian terpenting (Tiang) penyangga dari semua keyakinan, bersifat menentang formalitas beku dan ketumpulan religius.” Memiliki tujuan untuk membangun hubungan secara sadar dengan yang Absolut,

Agak rumit memang menelisik pertautan awal antara misitisisme yang dinilai, lebih tepatnya, irasional di satu pihak dan lainnya. Kerumitan akhirnya menemukan titik singgung, dan bisa menjadi penyebabnya orientalisme ketat religius dimasa psikis koloni. Artinya kadang wacana mistis ditempat-kan sebagai “sosok” yang mendominasi dan memarjinalkan batas-batas inferior sesuai dengan orientalisme si penganut. Dalam pemahaman mikro dan makro cosmos, mistism atau magis adalah suatu dimensi yang bereksistensi (memiliki daya) pengaruh atas keberadaannya, yang terkadang tidak untuk dapat ditangkap oleh indra manusia. Jadi diperlukan untuk melatih kesadaran secara (khusus) untuk mendalami hal-hal, atau fenomena yang bersifat irrasional di alam.

Jadi sebelum memahami sebuah wacana, petuah bijak mengatakan:


“Siapa pun yang ingin memahami sebuah teks sebaiknya bersiap untuk mempersilahkan teks itu mengatakan sesuatu padanya…”

Senin, 18 Juni 2012

Sistem Kekerabatan Dalam Budaya Jawa


Merujuk Koentjaraningrat, budaya Jawa adalah budaya yang timbul dan tumbuh dalam kehidupan etnis (suku bangsa ) Jawa, biasanya bermukim di kawasan Jawa Tengah maupun di Jawa Timur. Kebudayaan Jawa tidak biasa dipisahkan dengan pengaruh kerajaan Mataram, sebelum terpecah menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasuhunan Surakarta. Sementara itu Marbangun Harjowirogo tidak memberi batasan spesial terhadap orang yang disebut  sebagai orang Jawa. Menurutnya, mereka yang berpikir dan berperasaan seperti moyang mereka di Jawa Tengah maupun Jawa Timur sebagai pusat-pusat kebudayaan, baik yang berada di pulau Jawa maupun yang tinggal di luar pulau bahkan di Negara lain.

Orang Jawa di jaman kolonialisme berkelompok menjadi beberapa golongan berdasarkan status sosial yaitu wong cilik rata-rata kaum petani dan buruh. Juga golongan priyai termasuk pegawai /ningrat/kaum intelektual dan kaum saudagar pribumi. Disamping lapisan sosial ekonomi itu, masih dibedakan pula atas dasar keagamaan meskipun secara nominal juga beragama Islam namun berbeda cara penghayatannya. Menurut Clifford Greertz kelompok ini dipisahkan menjadi dua golongan, yang pertama adalah Islam Kejawen atau kaum Abangan. Golongan kedua adalah orang-orang Jawa yang berusaha untuk hidup menurut ajaran agama Islam atau golongan Santri.

Dalam sistem kekeluargaan, masyarakat tidak mengenal sistem marga. Meskipun demikian, hubungan kekeluargaan di luar keluarga inti dianggap penting. Demikian juga keturunan dari seorang nenek moyang yang sama merupakan faktor penting dalam masyarakat Jawa dan dianggap sebagai kelompok yang termasuk kerabat. Setiap orang Jawa melihat dirinya sendiri berada di tengah-tengah sebuah tatanan jajaran: kakek-nenek, bapak-ibu, kakak-adik, dan cucu-cucu.

Bagi individu Jawa, keluarga merupakan sarang keamanan dan sumber perlindungan. Dalam keluarga, hubungan antara anggotanya diharapkan berlandaskan rasa cinta (tresna). Di dalam rasa tresna itu nampak apabila orang tidak merasa isin satu sama lainnya. Sebab bagi perasaan Jawa, perbedaan yang berarti secara psikologis adalah perbedaan keakraban (tresna) dan hubungan yang menuntut sikap hormat. Hanya di dalam keluarga sajalah suasana akrab ideal, kurang lebih terwujud.

Di dalam keluarga pulalah orang Jawa belajar mengembangkan keutamaan-keutamaan seperti belas kasihan, kebaikan, kemurahan hati, kemampuan untuk menangkap kegelisahan orang lain, rasa tanggung jawab sosial, keprihatinan terhadap sesama dan semacamnya. Keluarga adalah tempat berkembangnya suatu perasaan moral praktis yang teramat mendalam, yang tidak memerlukan legitimasi teoritis. Keluarga bagi orang Jawa merupakan guru pertama yang mengajarkan bagaimana ia harus berperasaan, berpikir, dan bersikap menghadapi realitas. Oleh karena itu  seorang ibu  Jawa diharapkan mampu mendidik anak-anaknya sekaligus memberi rasa tresna dan rasa aman. Mereka itulah yang memberikan kepadanya kesejahteraan emosional serta titik keseimbangan dalam orentasi sosial. Di sini proses sosialisasi merupakan suatu proses berkesinambungan di sepanjang sejarah kehidupan pribadinya. Keluarga terdekat itulah yang dengan tegur sapanya dari hari ke hari lewat peragaan kongkret dalam sikap keseharian mereka, menjaga agar anak tidak terlalu jauh menyeleweng dari rel kaidah-kaidah budaya mereka. Perkembangan anak benar-benar tergantung pada lingkungan mereka.

Apabila orang Jawa telah dewasa, maka ia telah membatinkan bahwa kesejahteraanya bahkan eksistensinya tergantung pada kesatuan kelompoknya. Dengan demikian, secara piskologis, orang Jawa membutuhkan dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa, yaitu kerukunan dan prinsip hormat. Rukun secara psikologis diterjemahkan di dalam keadaan dimana tidak terdapat perasaan-perasaan negative, yaitu suatu keadaan yang aman dan tentram. Prinsip rasa hormat adalah setiap orang dalam bersikap dan membawa diri dalam hal pola interaksi dalam masyarakat Jawa. Prinsip ini mengatakan bahwa setiap orang dalam bersikap dan membawa diri serta dalam cara berbicara, hendaknya selalu harus memperlihatkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai derajat dan kedudukannya.

Dalam prinsip hormat ini, bahasa memainkan peranan yang penting, sebab dalam pemakaiannya, mengungkapkan tatanan yang ada. Penggunaan bahasa Jawa mengandaikan kesadaran akan kedudukan sosial masing-masing. Dan dalam kefasihannya menggunakan sikap-sikap hormat yang tepat, seorang Jawa mengembangkan sejak kecil lewat pendidikan keluarga, terutama dari sang ibu, khususnya dalam hal tatakrama. Sebab dalam pemeliharaan bentuk tatakrama yang terwujud dalam sikap tubuh, isi dan bentuk pembicaraan itu dimaksudkan untuk menciptakan situasi yang tenang dan mantap di segala bidang hubungan sosial yang ada, serta berlaku pula sebagai kekuatan pemersatu yang kuat dalam masyarakat Jawa.

Dalam bukunya Etika Jawa, Magnis Suseno mengutip pandangan Hildred Greertz yang mengatakan  bahwa pendidikan mengenai kefasihan menggunakan sikap-sikap hormat yang tepat itu tercapai melalui tiga perasaan yang dipelajari oleh anak Jawa dalam situasi-situasi yang mengharuskan sikap hormat kepada orang lain. Yaitu menjadi wedi (takut),  isin (malu), dan sungkan (rasa segan, sopan, hormat). Wedi, isin, sungkan merupakan suatu kesinambungan perasaan-perasaan yang mempunyai fungsi sosial untuk memberi dukungan psikologis terhadap tuntutan-tuntutan prinsip hormat.

Bagi orang Jawa, seseorang yang sungguh-sungguh bijaksana yaitu orang yang telah sampai pada “rasa” yang sebenarnya dapat dikenali karena kehalusannya. Kehalusan bathiniah adalah apabila seseorang mempunyai sifat-sifat yang  luhur, mampu mengendalikan hawa nafsunya, berbudi, kuat tapa dan matiraganya. Kehalusan seperti itu menampakan diri dalam sopan-santun  berbahasa, dalam sikap pergaulan, dalam hidup religius, dalam pekerjaan dan aspek-aspek kehidupan lainnya.

Kehalusan dalam pemakaian bahasa adalah pemilihan kata-kata yang tepat dan cocok untuk dipergunakan terhadap siapa ia sedang berhadapan dan berbicara. Dalam bahasa Jawa, ada tingkatan pokok yang menjadi landasan untuk menerapkan ketepatan pemakaian tersebut. Tingkatan ini adalah bahasa Jawa ngoko, kromo, dan kromo inggil.

Kehalusan lain yang terwujud pada sikap seorang Jawa adalah kehalusan dalam pergaulannya. Disamping kemampuan memakai bahasa yang tepat, juga ditekankan keharusan sikap hormat atau andap asor (rendah hati) yang memainkan peran penting dalam pergaulan. Orang Jawa mengidentikkan ketinggian seseorang dengan pangkatnya. Semakin tinggi pangkat seseorang, makin ia dihormati atau dihargai.

Salah satu bentuk tata sopan-santun atau basa-basi pergaulan juga dinilai positif adalah kemampuan orang Jawa untuk bersikap ethok-ethok (pura-pura). Ethok-ethok itu diperlihatkan di luar lingkungan keluarganya itu merupakan cara seseorang Jawa untuk tidak memperlihatkan perasaan-perasaan sebenarnya dalam pergaulan demi menjaga ketertiban agar tetap berlangsung. Rasa benci, marah, sedih, tak puas, dan semacam itu sedapat-dapatnya disembunyikan. Orang Jawa diharapkan untuk menghindari keterus-terangan  yang serampangan

Dalam dunia batin orang Jawa idealnya memiliki sikap sepi ing pamrih, suatu sikap yang tak ingin memaksakan kehendak dan kepentingannya sendiri tanpa memperhatikan kepentingan sesama, yang mengandung sikap eling, sabar, dan nrimo. Sikap eling adalah sikap yang selalu ingat asal-usulnya. Bahwa ia berasal dari Yang Illahi dan dengan rendah hati tahu siapa dirinya, dan termasuk  didalamnya adalah sikap mawas diri dan sekaligus bangga akan asal-usulnya. Sikap sabar terwujud dalam keadaan yang tidak tergesa-gesa, tidak khawatir dalam menghadapi sesuatu. Memiliki kesadaran akan terjadinya segala sesuatu itu sebagaimana memang semestinya sudah harus terjadi. Bagi orang Jawa masalah waktu tidak menjadi persolan penting, yang lebih penting adalah tercapainya suatu tujuan, alon alon waton kelakon.

Sikap nrimo bukan berarti asal menerima saja nasib yang menimpanya tetapi memiliki arti yang lebih mendalam. Meskipun menderita misalnya, tetapi tetap bereaksi secara wajar dan bisa membawa diri dalam situasi seperti itu, dan menunjukan suatu  kemampuan batin untuk menerima keadaan. Jadi bukan nrimo dalam arti kepasrahan terhadap nasib dalam ketidakberdayaan dan keputusasaan. Kemudian sikap ikhlas merupakan suatu batin yang merelakan apa saja. Tidak egois dan tidak rakus, tercermin dalam budi luhur dimana antara lain mempunyai kesanggupan untuk bersedia melepaskan apa saja yang dimilikinya atau apa yang merupakan kemampuan jika itu menjadi tuntutan tanggung jawab atau nasibnya.

Demikianlah sosok manusia Jawa yang begitu komplet dengan tingkatan bahasa yang menonjol, seolah memberi kesan harus berfikir dulu sebelum melangkah. Selalu mengambil sikap memenuhi kewajiban untuk menjaga tatanan dan keselarasan, baik dengan dirinya sendiri maupun dengan sesamanya dengan realitas yang dihadapai. Upacara ritual adat Jawa selalu ditujukan sebagai ungkapan puji syukur masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa.



Catatan Kaki

1. Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka 1985
2.  Marbangun Hardjowirogo, Manusia Jawa, Jakarta: Idayu Press 1984
3.  Geertz,  Hildred, Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Press 1983
4.  Frans Magnis Suseno, Etika Jawa, Jakarta: Gramedia 1984
5.  Arifin  Suryo N.  Biografi Hartini Soekarno, Yogyakarta: Ombak 2009

Rabu, 09 Mei 2012

Raden Said



Kadilangu terletak tak jauh dari Demak Jawa Tengah. Kalau anda datang dari arah Semarang, sebelum sampai ke Demak bisa mampir ke Kadilangu dulu. Udara biasanya panas, tapi orang-orang yang datang mengalir tanpa putus wajahnya begitu tulus. Memang  di sanalah terdapat makam yang “paling dikeramatkan di  Jawa Tengah”, yakni makam Sunan Kalijaga.

Raden Said/Sunan Kalijaga ini adalah putra dari Tumenggung Wilatikta dengan  Dewi Nawangrum, Tumenggung Wilatikta adalah Bupati Tuban yang ke VIII beliau masih keturunan dari Bupati Tuban yang ke II Raden Aryo Ronggolawe. Raden Said/Sunan Kalijaga ini memiliki seorang adik perempuan dengan nama Dewi Rasawulan. Kelak Dewi Rasawulan ini menikah dengan Raden Jaka Supa.

Raden Jaka Supa adalah keturunan Empu keraton Majapahit, yaitu Ki Pitrang/Ki Supa Mandrangi /Pangeran Sedayu. Raden Jaka Supa adalah arsitek keris Kyai Naga Sasra dan Keris Kyai Sabuk Inten yang terkenal itu.

Sesungguhnya, Keris Kyai Naga Sasra maupun Keris Kyai Sabuk Inten, adalah sebuah simbol semata. Naga Sasra berasal dari bahasa sanskerta Nagha Sahasrara yang berarti Seribu Naga. Ini melambangkan banyaknya kekuatan-kekuatan laten Majapahit yang masih memiliki kekuatan militer dan masih memiliki pengaruh besar dipelosok Nusantara.

Sedangkan Sabuk Inten berarti Ikat Pinggang Intan yang melambangkan para investor ekonomi lokal maupun mancanegara sebagai sumber keuangan yang sangat menentukan perputaran roda perekonomian negara.

Raden Jaka Supa bukan orang sembarangan. Ayahandanya, Ki Pitrang/Ki Supa Mandrangi, sangat berpengaruh didalam negeri Majapahit dan mancanegara waktu Majapahit masih berdiri. Pekerjaannya sebagai penyedia persenjataan militer negara, menjadikan Ki Pitrang banyak memiliki relasi.

Apabila anda pernah dengar sebuah pedang kuno yang menjadi kebanggaan Dr. Sun Yat Sen, pendiri Taiwan yang bernama Pit-Kang, sesungguhnya pedang tersebut adalah hasil tempaan Ki Pitrang, sehingga namanya pun masih disebut Pitrang walaupun dalam logat China. Pedang ini masih disimpan di Taiwan. Pedang tersebut adalah hadiah Raja Majapahit kepada Kaisar Tiongkok. Dan tidak tahu bagaimana ceritanya, pedang kuno yang berasal dari Majapahit tersebut bisa dibawa lari oleh Dr. Sun Yat Sen ke Taiwan setelah Tiongkok berhasil dikuasai kaum komunis.

Kebesaran nama Ki Pitrang inilah, menjadikan Raden Jaka Supa, sebagai anak laki-laki satu-satunya dari istri yang berasal dari Majapahit ( seorang lagi, istri Ki Pitrang berasal dari Blambangan. Dari istri Blambangan ini, beliau mempunyai seorang putra bernama Jaka Sura, yang meninggal sewaktu berusia belia. Praktis, putra Ki Pitrang tinggal Raden Jaka Supa. : Damar Shashangka), sangat disegani. Para sisa-sisa Bangsawan Majapahit, yang masih memiliki pengaruh dalam bidang ekonomi maupun militer dan masih banyak tersebar di beberapa pelosok Nusantara serta yang disimbolkan dengan Keris Kyai Naga Sasra, ditambah para investor asing yang disimbolkan dengan Keris Kyai Sabuk Inten, sangat-sangat menghormati Raden Jaka Supa adik ipar dari  Raden Said. : Damar Shashangka).

Kelak Raden Jaka Supa dan Raden Said ini akan bahu-membahu membantu berdirinya kerajaan Islam Demak Bintara beserta penerusnya dan penyebaran agama  Islam di tanah Jawa.

Raden Said kecil hidup terdidik dalam lingkungan istana Bupati Tuban. Pada dasarnya beliau memang gandrung terhadap ilmu dan selalu tanggap waskita. Kepiawaian, kecerdasan, dan kepekaan Raden Said terhadap kandungan ilmu tuwa pun menjadi buah bibir para ulama sepuh, pujanggah, dan pinisepuh istana Tuban. Adapun apa saja yang diajarkan para guru maupun pinisepuh istana, mampu diselesaikan hingga tamat oleh Raden Said. Selain berguru pada pinisepuh dan orang-orang yang didatangkan oleh ayahhandanya, Raden Said juga berguru pada wong kang linuweh di luar istana.

Pergaulan Raden Said di luar istana, dan melihat keadaan rakyat yang serba kesulitan. Situasi yang tidak menentu setelah perang perebutan kekuasaan di Majapahit oleh Raden Patah dari Demak Bintara maupun Girindrawardhana dari Keling, Kedhiri (tahun 1466-1473 M). Telah membuat kehidupan rakyat Tuban menjadi sulit. Penarikan upeti sembarangan guna membiayai perang melawan pemberontak dalam kerajaan Majapahit membuat rakyat semakin terjepit. Kekurangan kebutuhan hidup menjadi pemandangan sehari-hari yang memilukan di wilayah itu. Bagi Raden Said muda, kepasrahan tidaklah cukup untuk mengatasi kesulitan hidup di masyarakat kecil, apalagi banyak munculnya kriminalitas yang meresahkan masyarakat. Ia harus bertindak walaupun itu perbuatan yang tercela dan ia harus menanggung resikonya, diusir dari istana karena aksi nekat mencuri bahan makanan yang disimpan di gudang istana,  yang dapat digagalkan oleh petugas. Segala aksi begal di luar istana ia jalani demi membantu rakyat kecil. Mulai merampok upeti, menjarah harta pejabat-pejabat kecil desa, dan membagikanya kepada rakyat miskin. Selain merampok ia juga menyadarkan perampok-perampok lainnya agar tidak menggangu rakyat miskin. Oleh karena itu ia mendapat gelar si maling aguna atau berandal Lokajaya, atau perampok budiman. Ia sangat di segani oleh perampok lainnya, selalu berempati terhadap kaum tak berpunya. Walau dalam hati Raden Said menyadari mungkin itu semua salah dan dilarang menurut ilmu yang ia pelajari dari guru-gurunya di istana.

Ketika berandal Lokajaya menjadi semakin menjadi dan menguasai wilayah hutan Glagah Wangi, tak jauh dari kadipaten Demak yang baru berdiri. Ia di datangi oleh ulama besar anak sulung dari Sunan Ampel Denta yaitu Maulana Makdum Ibrahim/Sunan Bonang yang sedang dalam perjalanan menuju ke Demak Bintara. Menurut silsilah dari keturunan Ronggolawe/Bupati Tuban II, Raden Aryo Adikoro Bupati Tuban VI, adalah cicit dari Ronggolawe ini mempunyai dua putra, Raden Ayu Aryo Tejo dan Kyai Ageng Graseh. Raden Ayu Aryo Tejo (putri) menikah dengan Syeh Ngabdurahman (putra) dari Syeh Jali/Kyai Makam Dawa/Ngalimurtala dari Gresik (saudara dari Sunan Ampel Denta). Syeh Ngabdurahman menjadi Bupati Tuban yang ke VII dengan gelar Raden Aryo Tejo. Dan Raden Aryo Tejo ini digantikan  oleh putranya yaitu Raden Aryo Wilantikta atau ayah dari Raden Said, menjadi Bupati Tuban yang ke VIII. Jadi Raden Said masih kerabat dekat dengan Syeh Maulana Makdum Ibrahim/Sunan Bonang.

Berbagai kisah telah diceritakan tentang pertemuan antara Raden Said dengan Sunan Bonang. Akhirnya Raden Said menginsafi perbuatannya dan beliau diangkat oleh Sunan Bonang menjadi muridnya setelah diberi wejangan (ilmu) tentang wawasan berketuhanan dan dinamika masyarakat di masa itu. Tugas utama Raden Said adalah “Njogo kali”, atau menjaga aliran kepercayaan di tengah masyarakat yang sudah heterogen. Tongkat perlambang petunjuk jalan yang diharapkan kelak masyarakat tidak akan lagi tersesat, dan tetap memegang prinsip-prinsip Islami (Al Quran dan Hadist Nabi). Walau cara berdakwah nantinya akan menghadapi budaya lokal yang telah bercokol kuat, diharapkan tidak menimbulkan konflik yang berlarut-larut. “Sungai akan selalu mengalir, sedang noda yang menempel akan hilang dengan sendirinya” ujar Sunan Bonang kepada Sunan Kalijaga. Sepeninggal Sunan Bonang, Raden Said pun diangkat menjadi Sunan dengan gelar Kalijaga, seperti maksud dan tujuan, yang telah diuraikan.

Sekilas memang tampak ada sisi kebadungan dari Raden Said ini, yang justru menjadi orisinil dan sangat penting bagi kelanjutan penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Selain itu juga Raden Said merupakan wali yang sangat vital, sebagai penghubung legitimasi kekuasaan dari Majapahit ke Mataram Hadiningrat. Perseteruan antara Sunan Kudus dan Giri Kedaton dalam penerus tahta kerajaan Demak sepeninggal Sultan Trenggana akhirnya dapat diredam dengan kemenangan dari murid Sunan Kalijaga, Hadiwijaya (menantu Sultan Trenggana) melawan Arya Penangsang (keponakan Sultan Trenggana) jago dari Sunan Kudus. Dengan bantuan dari Ki Ageng Pamanahan beserta putranya Panembahan Senopati akhirnya Aryo Penangsang gugur di medan perang pada tahun 1549 M. Dengan naiknya Hadiwijaya (atas restu Sunan Giri Prapen) sebagai Sultan di Pajang pengaruh Kudus sudah mulai berangsur-angsur surut. Pengaruh besar Sunan Kalijaga ini tak tepas juga dari strategi Sultan Trenggana yang menikahkan Raden Said/Sunan Kalijaga dengan putri orang suci dari tlatah kulon Sunan Gunung Jati, meminjam wibawa (istilahnya) dari Sunan Gunung Jati untuk menandingi wibawa Sunan Kudus di lingkungan kerajaan Demak Bintara.

Setelah kerajaan Demak jatuh, penerusnya Hadiwijaya (Pajang) tidak memiliki pengganti yang kuat di bidang pemerintahan. Sunan Kalijaga menunjuk Panembahan Senopati (Sutawijaya) sebagai penerus dari Sultan Hadiwijaya dan membujuk anak dari  Hadiwijaya yang juga salah satu muridnya yaitu, Sunan Benawa untuk meninggalkan urusan duniawi dan memilih menjadi ulama, dengan menumbuh suburkan pesantren-pesantren di tanah Jawa. Sunan Benawa ini patut untuk dijuluki bapak pesantren di Indonesia.

Pemberontakan Ki Ageng Pengging (ayah Hadiwijaya) terhadap Dewan Walisanga Demak. (intervensi dari ajaran Syeh Lemah Abang yang juga guru dari Ki Ageng Pengging). Dapat diselesaikan walau dengan berat hati. Ki Ageng Pengging/Kebo Kenanga dan para pengikut Syeh Lemah Abang harus mengakhiri (hidupnya) jika menolak ultimatum yang diberikan Walisanga untuk bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Walaupun pengikut Syeh Siti Jenar sudah surut namun pokok-pokok ajaran(nya) masih menjadi bahan perdebatan hingga saat ini.

Dalam berkompromi dengan para Wali lainnya, terutama yang paling keras perlawanan dari Sunan Kudus maupun Sunan Giri. Sunan kalijaga yang sangat kreatif, mengubah boneka wayang yang semula tiga dimensi menjadi dua dimensi (wayang kulit) supaya tidak seperti patung (yang di Saudi Arabia hal itu biasa dianggap berhala). Beserta sarananya, keber (kain putih), debog (batang pisang), kotak kayu, yang semuanya memiliki makna tersendiri. Dalam pembangunan Masjid DemakSunan Kalijaga pun turut berperan mendirikan tiang penyangga, yang berbeda dengan tiang-tiang lainnya. Karena tiang tersebut bukanlah terbuat dari bahan (kayu) yang utuh, melainkan kayu yang sudah disambung-sambung atau Saka Tatal. hingga saat ini Saka Tatal masih kuat menyangga Masjid Demak. Saka Tatal mungkin makna/simbol dari penyebaran agama Islam di tanah Jawa.

Upaya yang telah dilakukan oleh Raden Said/Sunan Kalijaga dalam penyebaran agama Islam baik kultural maupun struktural telah berhasil dengan baik, setidaknya mampu menghindari konflik dengan budaya lama yang telah bercokol kuat di Bumi Nusantara

Catatan kaki
1.      Sembilan Wali dan Siti Senar, SGA 2007, Hlm 119-131.
2.      Sunan Kalijaga, Wawan Susetya, Diva Press 2009, Hlm 10-13
3.      Ki Ageng Mangir, Sugeng Pramana, Gelombang Pasang 2006, Hlm 213-220
4.      Damar Shashangka, Blog,