Minggu, 29 September 2013

Keberagaman Hidup



Untuk berusaha untuk memahami manusia adalah berusaha memahami keunikan mereka. Pembagian radikal antara manusia dan alam selebihnya sangat mencolok bahwa untuk pemikir pra-ilmiah itu bukti yang cukup bahwa kita adalah porsi Ilahi disukai penciptaan - terasa berbeda , entah bagaimana lebih dekat kepada Allah. Dalam kelangsungan hidupnya manusia mempunyai tujuan material dan non material, baik dia sebagai individu maupun sebagai makluk social. Rasa saling menghargai setiap hak individu maupun kelompok diatur sesuai hukum dan norma-norma  yang berlaku di lingkungan tersebut. Kehidupan bermasyarakat berarti perjuangan dari seluruh komponen untuk mencapai kesejahteraan dan peningkatan kualitas kebutuhan dasarnya. Dari psycologis kita sendiri hidup di lingkungan yang dikondisikan tidak hanya oleh kendala biologis dan fisik yang semua makluk tunduk pada alam, tetapi juga dengan simbol dan bahasa . Lingkungan dikondisikan oleh makna, dan makna terletak pada pikiran kolektif kelompok .

Kehidupan yang beragam tidak dapat diatur seperti layaknya perusahaan atau pabrik, setiap kelompok organism memiliki landasan dan paradima berfikir yang berbeda. Untuk itu etika (sudut pandang) di setiap komunitas satu dengan lainya tidak selalu sama didasarkan pengalaman historis dari satu lainnya memang berbeda. Namun dari kesimpulan dapat ditarik garis persamaan setiap kolompok masyarakat pada hakikatnya mempunyai kebutuhan yang sama untuk saling berbagi dan memperluas wawasan berfikir dalam mencapai tujuan. Kehidupan yang dinamis dan selaras dengan alamnya masih dapat ditemui di masyarakat pedesaan yang sebagian besar hidupnya bertumpu pada pertanian dan perkebunan. Dimana kelompok masyarakatnya telah membagi satuan tugas masing-masing  untuk memelihara lingkungan, bergotong-royong, mengerjakan saluran air untuk pertanian secara bersama-sama. Membentuk koperasi dan pendidikan dasar di setiap lingkungan. Bermusyawarah adalah cara untuk mengambil keputusan dalam kelompok. Ada dewan penasihat atau tetua desa, untuk kompas pertimbangan arah kebijaksanaan di wilayah tersebut dan memberi nasehat yang tepat. Di wilayah perkotaan agak berbeda pola dalam pembaurannya sosialnya karena masyarakat itu berasal dari lingkungan yang berbeda-beda(pendatang) dan bermacam variasi atau inovasi untuk membentuk organisasi. Selain itu akses informasi yang memudahkan untuk saling memahami dan menyelesaikan persolan secara sistemis dimana etika lebih didekatkan pada pemikiran yang bersifat rasional dan dapat diterima oleh kalayak sehingga mobilisasi (dinamisasi) penduduk kota lebih cepat daripada penduduk di wilayah pedesaan.

Kritik social menurut studi filsafat, adalah sebagai bagian dari tatanan moral alam semesta , yang tersembunyi dalam kode dan bersifat metafisik . Dalam setiap kasus sosial kritik yang bertahan bagi kita , kritik diterima secara sosial yang tersembunyi balik wajah pelindung paradoks , simbol dan makna. Singkatnya , kita melihat semacam dialektika bekerja di sini , antara, di satu sisi, kebiasaan sosial yang didirikan dan kepentingan itu melindungi dan , di sisi lain, membuka ruang kesadaran yang dapat memahami kritik dan alternatif untuk pengembangan ataupun pengurangan kehidupan vital. Pada tingkat sosial serta kehidupan organisasi , sistem individu berkembang melalui pengalaman dan trial kompas lebih komprehensif pemahaman dan kebiasaan . Menurut Hobbes, filsafat sosial dan politik didasarkan pada metafisika yang juga filsafat sosial dan politik di bawah sadar bentuk , tapi satu dapat melihat dengan sia-sia untuk garis itu yang tidak tetap dalam menghormati patuh pada kekuasaan leluhur tempat dan waktu . Dari yang filsuf lain akan mengatakan berbeda? Secara umum, pemikiran sosial dihindari untuk detail yang subserved ke metafisika sistem yang membenarkan yang diberikan – putusan paradigma bagaimana masyarakat harus hidup yang tidak pernah sendiri dipertanyakan .


Singkatnya hidup bermasyarakat membutuhkan kemitraan dan kerjasama satu lainya tanpa harus mengusir yang berbeda dan rasionalitas menjadi jembatan penghubung satu dengan lainnya sehingga perbedaan sudut pandang dalam  wawasan yang lebih luas kian tidak begitu menonjol. Kritik ditujukan sebagai penyeimbang (meraba) atas kebijakan yang ditempuh. Sehingga pola organisasi di masyarakat lebih dinamis kokoh dan mampu menjawab tantangan, gesekan, pengembangan atau mengurangan nilai serta perubahan-perubahan  yang mungkin terjadi di masa mendatang.

Kamis, 29 Agustus 2013

Melestarikan Warisan Budaya

Wayang




Keindahan adalah bagian dari kehidupan yang memiliki sifat universal. Dengan kata lain ia memiliki tingkatan kualitas dan juga terbatas dalam hubungannya dengan indra.  Unsur-unsur yang melekat daripadanya dapat dicerap (indra) dalam bentuk kelembutan, kebaikan, keutamaan budi, keselarasan dan jika sesuatu yang berharga disitu dipastikan ada nilai yang indah. Misal Bentuk karya seni yang keluar memiliki pernyataan rasa sadar/non sadar  atas kondisi yang alamiah, dimana setiap insane ciptaan-Nya memiliki nilai-nilai tersebut.

Wayang, bayang/ayang adalah gambaran abtrak dari kehidupan  yang memiliki perlambang, symbol budaya dari masa lampau dan mungkin secara logis/non logis masih mempengaruhi pola kehidupan manusia.  Symbol atau perlambang memiliki tali pertautan dengan kehidupan, menjembatani pola pemikiran dari generasi ke generasi, kadang symbol merupakan pola/pertanda untuk menangkap hal – hal atau pesan yang tersamar dan sulit dicerap yang bersifat mengingatkan akan keterbatasan, gejolak perubahan, atau kemalangan, cinta-kasih .  Di mana rasa sulit dijelaskan (abstrak) akan terangkum dalam symbol tersebut. Selain itu Wayang juga digunakan sebagai ritual adat mewakili rasa syukur atas Rahmat dan Karunia Tuhan Yang Maha Esa.

Pada dasarnya lakon Wayang ada bermacam-macam, diambil dari naskah dua kitab Ramayana maupun Mahabaratha. Bentuk dan pagelaran wayang ada beberapa jenis : yaitu Wayang Kulit, Wayang Golek, Wayang Orang, Wayang Beber, Wayang Krucil. Dalam kehidupan masyarakat, di Jawa umumnya nilai-nilai kewajaran dan keharmonisan sangat diutamakan. Selain itu juga menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan azas kebersamaan/gotong royong, dimana segala persolan/perbedaan selalu dapat dimusyawarahkan terlebih dahulu. Wayang mendapat tempat, untuk memberi bimbingan, petuah, pesan leluhur dengan karakter (tokoh)  yang ditampilkan.

Figure / karakter (tokoh) wayang yang menjadi panutan oleh setiap insan, selalu mengingatkan akan prinsip yang harus di junjung dalam menjalankan kewajiban, ketabahan menghadapi cobaan, rela berkorban untuk kepentingan orang banyak. Kebijaksanaan dalam mengambil keputusan, dan juga mendidik kemampuan dalam berfikir. Menggabungkan berbagai peristiwa yang mempengaruhi perkembangan kebudayaan melalui tokoh dalam lakon . Berusaha  menerima kondisi dan merumuskan langkah apa yang terbaik untuk dilakukan.

Mengambil dari bait yang di tulis dalam Kitab Wulang Reh (Paku Buwono IV) Pupuh Maskumambang:

Kang atuduh marang sampurnaning urip,
Tumekeng antaka,
Madhangken petenging ati,
Abeneraken marga mulya

Terjemahan:

Yang memberi pelajaran tentang kesempurnaan hidup
Sampai mati
Menerangi gelapnya hati
Membetulkan kepada jalan yang mulia

Demikian seperti ungkapan tersebut,  dimana setiap pertujukan wayang, akan mengigatkan (penonton) agar untuk jangan melupakan kebudayaan warisan leluhur. Selalu menjaga martabat  dan kesatuan bangsa, memberikan tauladan setiap ke generasi, berdasar pada nilai-nilai Ketuhanan dan Kemanusiaan.

Minggu, 14 Juli 2013

Memahami Mistisisme




        

Untuk istilah Mistik (Ghaib) seringkali kita dengar untuk sekedar mengatakan itu sesuatu dimensi yang berada di luar jangkauan pemikiran rasional manusia. Terkadang terminologi suatu wacana tekstual secara tidak sengaja menghanyutkan kesadaran kritis, Sehingga (sering) abai terhadap pembeda hakekat dari sebuah teks, yang pada akhirnya terjebak pemaknaan tekstual secara harafiah dan dangkal: teks hanya di pahami sebagai praksis semata-mata.    

      
Maka dari itu diperlukan melatih kesadaran dengan method hermeneutic, juga dipastikan sensitif sejak awal terhadap ke-lain-an teks. Proses menafsirkan teks seperti itu, pasti melibatkan proyeksi nilai, kepentingan dan agenda seseorang ke dalam teks. Demikian pula ketika kita ingin membedah wacana mistisisme, mau tak mau harus merekonstruksi bangunan sebuah wacana literer teks atas nilai, kepentingan serta agenda-agenda yang mendorong seseorang mengintertektualisasiakan ide-idenya. Kadang ada pertanyaan: atas dasar apakah klaim terhadap mistisisme dikatakan irasional? Bukankah mistisisme sering merupakan embrio dari ilmu juga? Lalu apa perbedaan manakah yang menjadi pembedanya? Kelihatannya sulit untuk dijawab, karena pola berpikir kita telah terlanjur di-frame-kan (dalam jalur formal) yang hanya memahami suatu ajaran, entah filsafat Barat atau “filsafat” Timur: memang berbeda.

Istilah mistik sendiri telah digunakan dalam bahasa sehari-hari, walau kesan yang ditangkap agak serampangan dan kabur. Sebagai teks, kata sifatnya biasa digunakan untuk mendiskripsikan suatu obyek, orang, peristiwa atau kepercayaan yang memiliki aspek agak misterius yang terkait dengan pengalaman religius, supra natural, dan magis-gaib. Mistisisme, konon berasal dari kata sifat Yunani, (mistikos), atau misterious. Dugaan banyak sarjana mengatakan, mistikos berasal dari kata Yunani itu berarti “menutup” (to close). Yang juga diartikan sebuah gerakan untuk menutup mata, mulut, atau juga pintu. Berbeda istilah dari perancis, mistisisme itu dari kata la mystique istilah yang pertama kali muncul pada awal abad ke-17 di Perancis. Mistisme, menurutnya, pada awalnya diperkenalkan oleh intelektual-intelektual Barat untuk menamai fenomena atau aspek dalam tradisi Kristen, yang menurut pemahaman mereka menekankan pengetahuan religius yang diperoleh melalui pengalaman luar biasa atau wahyu suci. Ada juga yang lain menganggap misitisisme sebagai, “Bagian terpenting (Tiang) penyangga dari semua keyakinan, bersifat menentang formalitas beku dan ketumpulan religius.” Memiliki tujuan untuk membangun hubungan secara sadar dengan yang Absolut,

Agak rumit memang menelisik pertautan awal antara misitisisme yang dinilai, lebih tepatnya, irasional di satu pihak dan lainnya. Kerumitan akhirnya menemukan titik singgung, dan bisa menjadi penyebabnya orientalisme ketat religius dimasa psikis koloni. Artinya kadang wacana mistis ditempat-kan sebagai “sosok” yang mendominasi dan memarjinalkan batas-batas inferior sesuai dengan orientalisme si penganut. Dalam pemahaman mikro dan makro cosmos, mistism atau magis adalah suatu dimensi yang bereksistensi (memiliki daya) pengaruh atas keberadaannya, yang terkadang tidak untuk dapat ditangkap oleh indra manusia. Jadi diperlukan untuk melatih kesadaran secara (khusus) untuk mendalami hal-hal, atau fenomena yang bersifat irrasional di alam.

Jadi sebelum memahami sebuah wacana, petuah bijak mengatakan:


“Siapa pun yang ingin memahami sebuah teks sebaiknya bersiap untuk mempersilahkan teks itu mengatakan sesuatu padanya…”

Senin, 18 Juni 2012

Sistem Kekerabatan Dalam Budaya Jawa


Merujuk Koentjaraningrat, budaya Jawa adalah budaya yang timbul dan tumbuh dalam kehidupan etnis (suku bangsa ) Jawa, biasanya bermukim di kawasan Jawa Tengah maupun di Jawa Timur. Kebudayaan Jawa tidak biasa dipisahkan dengan pengaruh kerajaan Mataram, sebelum terpecah menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasuhunan Surakarta. Sementara itu Marbangun Harjowirogo tidak memberi batasan spesial terhadap orang yang disebut  sebagai orang Jawa. Menurutnya, mereka yang berpikir dan berperasaan seperti moyang mereka di Jawa Tengah maupun Jawa Timur sebagai pusat-pusat kebudayaan, baik yang berada di pulau Jawa maupun yang tinggal di luar pulau bahkan di Negara lain.

Orang Jawa di jaman kolonialisme berkelompok menjadi beberapa golongan berdasarkan status sosial yaitu wong cilik rata-rata kaum petani dan buruh. Juga golongan priyai termasuk pegawai /ningrat/kaum intelektual dan kaum saudagar pribumi. Disamping lapisan sosial ekonomi itu, masih dibedakan pula atas dasar keagamaan meskipun secara nominal juga beragama Islam namun berbeda cara penghayatannya. Menurut Clifford Greertz kelompok ini dipisahkan menjadi dua golongan, yang pertama adalah Islam Kejawen atau kaum Abangan. Golongan kedua adalah orang-orang Jawa yang berusaha untuk hidup menurut ajaran agama Islam atau golongan Santri.

Dalam sistem kekeluargaan, masyarakat tidak mengenal sistem marga. Meskipun demikian, hubungan kekeluargaan di luar keluarga inti dianggap penting. Demikian juga keturunan dari seorang nenek moyang yang sama merupakan faktor penting dalam masyarakat Jawa dan dianggap sebagai kelompok yang termasuk kerabat. Setiap orang Jawa melihat dirinya sendiri berada di tengah-tengah sebuah tatanan jajaran: kakek-nenek, bapak-ibu, kakak-adik, dan cucu-cucu.

Bagi individu Jawa, keluarga merupakan sarang keamanan dan sumber perlindungan. Dalam keluarga, hubungan antara anggotanya diharapkan berlandaskan rasa cinta (tresna). Di dalam rasa tresna itu nampak apabila orang tidak merasa isin satu sama lainnya. Sebab bagi perasaan Jawa, perbedaan yang berarti secara psikologis adalah perbedaan keakraban (tresna) dan hubungan yang menuntut sikap hormat. Hanya di dalam keluarga sajalah suasana akrab ideal, kurang lebih terwujud.

Di dalam keluarga pulalah orang Jawa belajar mengembangkan keutamaan-keutamaan seperti belas kasihan, kebaikan, kemurahan hati, kemampuan untuk menangkap kegelisahan orang lain, rasa tanggung jawab sosial, keprihatinan terhadap sesama dan semacamnya. Keluarga adalah tempat berkembangnya suatu perasaan moral praktis yang teramat mendalam, yang tidak memerlukan legitimasi teoritis. Keluarga bagi orang Jawa merupakan guru pertama yang mengajarkan bagaimana ia harus berperasaan, berpikir, dan bersikap menghadapi realitas. Oleh karena itu  seorang ibu  Jawa diharapkan mampu mendidik anak-anaknya sekaligus memberi rasa tresna dan rasa aman. Mereka itulah yang memberikan kepadanya kesejahteraan emosional serta titik keseimbangan dalam orentasi sosial. Di sini proses sosialisasi merupakan suatu proses berkesinambungan di sepanjang sejarah kehidupan pribadinya. Keluarga terdekat itulah yang dengan tegur sapanya dari hari ke hari lewat peragaan kongkret dalam sikap keseharian mereka, menjaga agar anak tidak terlalu jauh menyeleweng dari rel kaidah-kaidah budaya mereka. Perkembangan anak benar-benar tergantung pada lingkungan mereka.

Apabila orang Jawa telah dewasa, maka ia telah membatinkan bahwa kesejahteraanya bahkan eksistensinya tergantung pada kesatuan kelompoknya. Dengan demikian, secara piskologis, orang Jawa membutuhkan dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa, yaitu kerukunan dan prinsip hormat. Rukun secara psikologis diterjemahkan di dalam keadaan dimana tidak terdapat perasaan-perasaan negative, yaitu suatu keadaan yang aman dan tentram. Prinsip rasa hormat adalah setiap orang dalam bersikap dan membawa diri dalam hal pola interaksi dalam masyarakat Jawa. Prinsip ini mengatakan bahwa setiap orang dalam bersikap dan membawa diri serta dalam cara berbicara, hendaknya selalu harus memperlihatkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai derajat dan kedudukannya.

Dalam prinsip hormat ini, bahasa memainkan peranan yang penting, sebab dalam pemakaiannya, mengungkapkan tatanan yang ada. Penggunaan bahasa Jawa mengandaikan kesadaran akan kedudukan sosial masing-masing. Dan dalam kefasihannya menggunakan sikap-sikap hormat yang tepat, seorang Jawa mengembangkan sejak kecil lewat pendidikan keluarga, terutama dari sang ibu, khususnya dalam hal tatakrama. Sebab dalam pemeliharaan bentuk tatakrama yang terwujud dalam sikap tubuh, isi dan bentuk pembicaraan itu dimaksudkan untuk menciptakan situasi yang tenang dan mantap di segala bidang hubungan sosial yang ada, serta berlaku pula sebagai kekuatan pemersatu yang kuat dalam masyarakat Jawa.

Dalam bukunya Etika Jawa, Magnis Suseno mengutip pandangan Hildred Greertz yang mengatakan  bahwa pendidikan mengenai kefasihan menggunakan sikap-sikap hormat yang tepat itu tercapai melalui tiga perasaan yang dipelajari oleh anak Jawa dalam situasi-situasi yang mengharuskan sikap hormat kepada orang lain. Yaitu menjadi wedi (takut),  isin (malu), dan sungkan (rasa segan, sopan, hormat). Wedi, isin, sungkan merupakan suatu kesinambungan perasaan-perasaan yang mempunyai fungsi sosial untuk memberi dukungan psikologis terhadap tuntutan-tuntutan prinsip hormat.

Bagi orang Jawa, seseorang yang sungguh-sungguh bijaksana yaitu orang yang telah sampai pada “rasa” yang sebenarnya dapat dikenali karena kehalusannya. Kehalusan bathiniah adalah apabila seseorang mempunyai sifat-sifat yang  luhur, mampu mengendalikan hawa nafsunya, berbudi, kuat tapa dan matiraganya. Kehalusan seperti itu menampakan diri dalam sopan-santun  berbahasa, dalam sikap pergaulan, dalam hidup religius, dalam pekerjaan dan aspek-aspek kehidupan lainnya.

Kehalusan dalam pemakaian bahasa adalah pemilihan kata-kata yang tepat dan cocok untuk dipergunakan terhadap siapa ia sedang berhadapan dan berbicara. Dalam bahasa Jawa, ada tingkatan pokok yang menjadi landasan untuk menerapkan ketepatan pemakaian tersebut. Tingkatan ini adalah bahasa Jawa ngoko, kromo, dan kromo inggil.

Kehalusan lain yang terwujud pada sikap seorang Jawa adalah kehalusan dalam pergaulannya. Disamping kemampuan memakai bahasa yang tepat, juga ditekankan keharusan sikap hormat atau andap asor (rendah hati) yang memainkan peran penting dalam pergaulan. Orang Jawa mengidentikkan ketinggian seseorang dengan pangkatnya. Semakin tinggi pangkat seseorang, makin ia dihormati atau dihargai.

Salah satu bentuk tata sopan-santun atau basa-basi pergaulan juga dinilai positif adalah kemampuan orang Jawa untuk bersikap ethok-ethok (pura-pura). Ethok-ethok itu diperlihatkan di luar lingkungan keluarganya itu merupakan cara seseorang Jawa untuk tidak memperlihatkan perasaan-perasaan sebenarnya dalam pergaulan demi menjaga ketertiban agar tetap berlangsung. Rasa benci, marah, sedih, tak puas, dan semacam itu sedapat-dapatnya disembunyikan. Orang Jawa diharapkan untuk menghindari keterus-terangan  yang serampangan

Dalam dunia batin orang Jawa idealnya memiliki sikap sepi ing pamrih, suatu sikap yang tak ingin memaksakan kehendak dan kepentingannya sendiri tanpa memperhatikan kepentingan sesama, yang mengandung sikap eling, sabar, dan nrimo. Sikap eling adalah sikap yang selalu ingat asal-usulnya. Bahwa ia berasal dari Yang Illahi dan dengan rendah hati tahu siapa dirinya, dan termasuk  didalamnya adalah sikap mawas diri dan sekaligus bangga akan asal-usulnya. Sikap sabar terwujud dalam keadaan yang tidak tergesa-gesa, tidak khawatir dalam menghadapi sesuatu. Memiliki kesadaran akan terjadinya segala sesuatu itu sebagaimana memang semestinya sudah harus terjadi. Bagi orang Jawa masalah waktu tidak menjadi persolan penting, yang lebih penting adalah tercapainya suatu tujuan, alon alon waton kelakon.

Sikap nrimo bukan berarti asal menerima saja nasib yang menimpanya tetapi memiliki arti yang lebih mendalam. Meskipun menderita misalnya, tetapi tetap bereaksi secara wajar dan bisa membawa diri dalam situasi seperti itu, dan menunjukan suatu  kemampuan batin untuk menerima keadaan. Jadi bukan nrimo dalam arti kepasrahan terhadap nasib dalam ketidakberdayaan dan keputusasaan. Kemudian sikap ikhlas merupakan suatu batin yang merelakan apa saja. Tidak egois dan tidak rakus, tercermin dalam budi luhur dimana antara lain mempunyai kesanggupan untuk bersedia melepaskan apa saja yang dimilikinya atau apa yang merupakan kemampuan jika itu menjadi tuntutan tanggung jawab atau nasibnya.

Demikianlah sosok manusia Jawa yang begitu komplet dengan tingkatan bahasa yang menonjol, seolah memberi kesan harus berfikir dulu sebelum melangkah. Selalu mengambil sikap memenuhi kewajiban untuk menjaga tatanan dan keselarasan, baik dengan dirinya sendiri maupun dengan sesamanya dengan realitas yang dihadapai. Upacara ritual adat Jawa selalu ditujukan sebagai ungkapan puji syukur masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa.



Catatan Kaki

1. Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka 1985
2.  Marbangun Hardjowirogo, Manusia Jawa, Jakarta: Idayu Press 1984
3.  Geertz,  Hildred, Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Press 1983
4.  Frans Magnis Suseno, Etika Jawa, Jakarta: Gramedia 1984
5.  Arifin  Suryo N.  Biografi Hartini Soekarno, Yogyakarta: Ombak 2009