Di awal abad 14 M,
Kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu Menak Sembuyu, konon masih salah
seorang keturunan Prabu Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit. Raja dan rakyatnya
memeluk agama Hindu dan ada sebagian yang memeluk agama Budha.
Suatu ketika, kerajaan
terkena wabah penyakit. Akibat wabah tersebut banyak penduduk yang jatuh sakit
dan tewas. Salah satu yang sakit adalah Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak
Sembuyu. Sakitnya sang putri sudah berminggu-minggu, raja khawatir keadaan putrinya
kian hari kian bertambah parah. Sudah menjadi tradisi raja-raja di Jawa, jika keluarga
raja mengalami masalah, sering diadakan sayembara dengan imbalan tertentu bagi
yang bisa menyelasaikannya.
Patih Bajul Sangara
mendapat tugas untuk menyelenggarakan sayembara tersebut, atas saran Rsi
Kandabaya seorang petapa yang biasanya tinggal di daerah pegunungan memberi
petunjuk tentang orang sakti dari negeri seberang yang sedang menyebarkan agama
baru, Orang tersebut bernama Syekh Maulana Ishak. Syekh Maulana Ishak konon adalah
teman seperjuangan Syekh Maulana Malik Ibrahim (Ayahanda Sunan Ampel Denta) dalam
menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Kanjeng Maulana Ishak selain pintar
berdakwah juga pandai di bidang ilmu ketabiban, atas usaha sungguh-sungguh dan
karomah Allah sang putri Dewi Sekardadu akhirnya sembuh dari sakitnya. Pegebluk
juga lenyap di wilayah Blambangan. Sesuai janji Raja maka Syekh Maulana Ishak
dikawinkan dengan Dewi Sekardadu. Dan akan diberi kedudukan sebagai Adipati
untuk menguasai sebagian wilayah Blambangan.
Prastawa pernikahan
tersebut menjadi catatan tersendiri bagi rakyat Blambangan yang mayoritas beragama
Hindu. Karena upacara pernikahan sangat sederhana dan mudah dan sebelumnya
tidak pernah terjadi dalam adat Blambangan. Babad Tanah Jawi mengisahkan,
menjelang upacara pernikahan terjadi ketegangan antara Kanjeng Maulana Ishak dengan
pihak istana. Hal ini berasal dari soal makanan. Sesuai ajaran Islam, Kanjeng
Maulana Ishak melarang semua makanan yang berasal dari daging babi dan juga
jenis daging lain (daging anjing) misalnya, yang diharamkan oleh agama.
Sementara pesta tanpa daging babi bagi rakyat Blambangan dianggap tidak sah.
Keributan itu akhirnya biasa diselesaikan “sanajan mekaten iseh” mengganjal di
hati Sang Prabu. Upacara tersebut akhirnya berhasil sesuai adat dan tata cara
agama baru di negeri Blambangan. Sikap Maulana Ishak yang rendah hati dan
ilmunya yang luas membuat rakyat Blambangan banyak yang terpikat. Sehingga
semakin hari banyak yang ikut dan berguru pada Kanjeng Maulana Ishak.
Hal ini tentunya meresahkan hati Sang Prabu, karena merongrong wibawa kerohanian, istana merasa tersaingi oleh ajaran agama baru ini. Untuk itu Patih Bajul Sangara disuruh membereskan usaha-usaha penyebaran agama oleh Kanjeng Maulana Ishak. Dengan segala tipu daya dan teror dilakukan untuk mengusir Kanjeng Maulana Ishak dari tlatah Blambangan. Akhirnya Kanjeng Maulana Ishak menyingkir, setelah berijtihad dan mendapat petunjuk dari Allah. Mungkin belum saatnya bagi rakyat Blambangan berbondong-bondong memeluk agama Islam. Tapi saatnya nanti akan menjadi tlatah Islam yang menonjol.
Sebelum meninggalkan Blambangan
Kanjeng Maulana Ishak pamit dulu kepada istrinya yang lagi hamil, kalau lahir
nantinya laki-laki namakan Raden Paku bila perempuan terserah dinamakan apa.
Kemudian Kanjeng Maulana Ishak pergi ke Pasai, sebelumnya singgah di Ampel dulu.
Sepeninggal Kanjeng
Maulana Ishak, Patih Bajul Sangara yang juga
menaksir Sang Putri menghasut Prabu Menak Sembuyu supaya membuang bayi yang baru
dilahirkan oleh Dewi Sekardadu, karena dikawatirkan akan membawa bencana bagi kawula
Blambangan. Dengan berat hati Sang Prabu akhirnya melarung bayi tampan ini
(Raden Paku) atau cucunya ke laut.
Alkisah bayi ini akhirnya
ditemukan oleh nahkoda kapal dalam sebuah peti terbuka lengkap (mungkin) dengan peralatan
bayi dan nama yg tertera pada benda tsb. Dan dibawa bersama kapal yang sedang
berlayar menuju pelabuhan Gresik.
Setibanya di Gresik ia diserahkan pada sang pemilik kapal yaitu Nyai Gede
Pinatih. Nyai Gede Pinatih ini pengusaha sekaligus janda dari Patih Samboja, bekas
abdi dalem istana Blambangan juga yang diusir raja, lalu pindah ke Kerajaan Majapahit
(saat memasuki jaman kemunduran), dan diutus kerajaan untuk tugas di Gresik.(1).
Bayi ini segara diasuh jadi anak angkat dan diberi tetenger oleh Nyai Gede
dengan nama tambahan Joko Samudro.
Ketika berumur 11 tahun,
Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samodra atau Raden Paku untuk berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan
Ampel di Surabaya. Sewaktu mondok di pesantren Ampeldenta, Raden Paku sangat
akrab bersahabat dengan putra Raden Rahmat yang bernama Raden Makdum
Ibrahim(Sunan Bonang).
Ketika Raden Paku sudah
beranjak dewasa Sunan Ampel memberitahukan perihal tentang siapa dirinya, dan
menyuruhnya segera menemui ayahandanya di Pasai yaitu Syekh Maulana Ishak atau
Syeh Awwalul Islam. Raden Paku berangkat ke Pasai bersama sahabat karibnya
Raden Makdum Ibrahim untuk berguru dan menemui ayahandanya.
Syekh Maulana Ishak
terharu menerima kedatangan dua pemuda dari tanah jawa ini. Yang salah satunya
adalah putranya sendiri. Kelak setelah menimba ilmu di Pasai, Syekh Maulana
Ishak memberi tugas kepada dua pemuda ini untuk menyebarkan Islam di seluruh
pelosok Jawa. Untuk Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) harus menyebarkan agama Islam
di pedalaman tanah Jawa, sedang putranya Si Raden Paku(Sunan Giri I) menyebarkan Islam di
pesisir pantai Jawa dan wilayah timur pulau Jawa.
Raden Paku memiliki dua
istri, istri pertama putri dari Sunan Ampel Denta yaitu Dewi Murtasiah. Yang
kedua Dewi Wardah putri bangsawan Majapahit Ki Ageng Supa Bungkul. Kelak peran
serta Raden Paku atau yang terkenal dengan sebutan Sunan Giri I akan sangat
menentukan bagi berdirinya kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak dan penyebaran
agama Islam di wilayah Indonesia Timur. Dan penerusnya, Sunan Dalem (Giri II)
berperang di pihak Demak menyebarkan Islam di pelosok Jawa, menyerang Kadipaten
Sengguruh(Malang/Pasuruan) yang enggan mengakui kekuasaan Islam Demak. Juga
penerus lainnya Sunan Prapen (Giri IV) menggantikan posisi kakaknya Sunan
Giri III yang gugur dalam ekspedisi Sultan Trenggana di Panarukan.
Ada kebijakan krusial dari Giri Kedaton di jaman Sunan Prapen masih hidup yaitu, mengangkat Hadiwijaya (menantu Sultan Trenggana) yang berkedudukan Di Pajang, sebagai penerus kesultanan Islam Demak yang sah. Hal ini tentunya merupakan salah satu bentuk dukungan moral setelah kematian Sultan Trenggana dan keributan di Kerajaan Islam yang masih muda ini. Hal yang menjadikan krusial karena di masa itu banyak Adipati-adipati di Jawa Timur (bekas kerajaan Majapahit) yang masih enggan mengakui kekuasaan ekspansif kerajaan Islam dari Jawa Tengah ini (Mataram Hadingrat). Sehingga hampir terjadi pertempuran besar antara Senopati Mataram Hadiningrat (Sutawijaya) beserta bregadenya melawan bregade dari persatuan Adipati Jawa Timur yang dipimpin Adipati Surabaya (Kanjeng Panembahan Ratu Jayalengkara) yang masih keturunan dari Sunan Ampel di tahun 1589. Tetapi akhirnya dapat di damaikan oleh Kanjeng Sunan Giri Prapen, sehingga Bregade Mataram Hadiningrat yang dipimpin Senopati Sutawijaya tidak sampai berekspansi ke pelosok Jawa Timur. Yang kelak ekspansi ini akan diteruskan oleh cucunya Kanjeng Sultan Agung. Di masa Sultan Agung inilah kewibawaan kerohanian Giri Kedaton sudah mulai menurun, disebabkan kerena Sultan Agung enggan melibatkan trah dari Giri Kedaton di Kerajaan Islam Mataram Hadiningrat.
Catatan Kaki