Jumat, 27 April 2012

Raden Paku


Di awal abad 14 M, Kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu Menak Sembuyu, konon masih salah seorang keturunan Prabu Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit. Raja dan rakyatnya memeluk agama Hindu dan ada sebagian yang memeluk agama Budha.

Suatu ketika, kerajaan terkena wabah penyakit. Akibat wabah tersebut banyak penduduk yang jatuh sakit dan tewas. Salah satu yang sakit adalah Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak Sembuyu. Sakitnya sang putri sudah berminggu-minggu, raja khawatir keadaan putrinya kian hari kian bertambah parah. Sudah menjadi tradisi raja-raja di Jawa, jika keluarga raja mengalami masalah, sering diadakan sayembara dengan imbalan tertentu bagi yang bisa menyelasaikannya.

Patih Bajul Sangara mendapat tugas untuk menyelenggarakan sayembara tersebut, atas saran Rsi Kandabaya seorang petapa yang biasanya tinggal di daerah pegunungan memberi petunjuk tentang orang sakti dari negeri seberang yang sedang menyebarkan agama baru, Orang tersebut bernama Syekh Maulana Ishak. Syekh Maulana Ishak konon adalah teman seperjuangan Syekh Maulana Malik Ibrahim (Ayahanda Sunan Ampel Denta) dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Kanjeng Maulana Ishak selain pintar berdakwah juga pandai di bidang ilmu ketabiban, atas usaha sungguh-sungguh dan karomah Allah sang putri Dewi Sekardadu akhirnya sembuh dari sakitnya. Pegebluk juga lenyap di wilayah Blambangan. Sesuai janji Raja maka Syekh Maulana Ishak dikawinkan dengan Dewi Sekardadu. Dan akan diberi kedudukan sebagai Adipati untuk menguasai sebagian wilayah Blambangan.

Prastawa pernikahan tersebut menjadi catatan tersendiri bagi rakyat Blambangan yang mayoritas beragama Hindu. Karena upacara pernikahan sangat sederhana dan mudah dan sebelumnya tidak pernah terjadi dalam adat Blambangan. Babad Tanah Jawi mengisahkan, menjelang upacara pernikahan terjadi ketegangan antara Kanjeng Maulana Ishak dengan pihak istana. Hal ini berasal dari soal makanan. Sesuai ajaran Islam, Kanjeng Maulana Ishak melarang semua makanan yang berasal dari daging babi dan juga jenis daging lain (daging anjing) misalnya, yang diharamkan oleh agama. Sementara pesta tanpa daging babi bagi rakyat Blambangan dianggap tidak sah. Keributan itu akhirnya biasa diselesaikan “sanajan mekaten iseh” mengganjal di hati Sang Prabu. Upacara tersebut akhirnya berhasil sesuai adat dan tata cara agama baru di negeri Blambangan. Sikap Maulana Ishak yang rendah hati dan ilmunya yang luas membuat rakyat Blambangan banyak yang terpikat. Sehingga semakin hari banyak yang ikut dan berguru pada Kanjeng Maulana Ishak.

Hal ini tentunya meresahkan hati Sang Prabu, karena merongrong wibawa kerohanian, istana merasa tersaingi oleh ajaran agama baru ini. Untuk itu Patih Bajul Sangara disuruh membereskan  usaha-usaha penyebaran agama oleh Kanjeng Maulana Ishak. Dengan segala tipu daya dan teror dilakukan untuk mengusir Kanjeng Maulana Ishak dari tlatah Blambangan. Akhirnya Kanjeng Maulana Ishak menyingkir, setelah berijtihad dan mendapat petunjuk dari Allah. Mungkin belum saatnya bagi rakyat Blambangan berbondong-bondong memeluk agama Islam. Tapi saatnya nanti akan menjadi tlatah Islam yang menonjol.
Sebelum meninggalkan Blambangan Kanjeng Maulana Ishak pamit dulu kepada istrinya yang lagi hamil, kalau lahir nantinya laki-laki namakan Raden Paku bila perempuan terserah dinamakan apa. Kemudian Kanjeng Maulana Ishak pergi ke Pasai, sebelumnya singgah di Ampel dulu.

Sepeninggal Kanjeng Maulana Ishak,  Patih Bajul Sangara yang juga menaksir Sang Putri menghasut Prabu Menak Sembuyu supaya membuang bayi yang baru dilahirkan oleh Dewi Sekardadu, karena dikawatirkan akan membawa bencana bagi kawula Blambangan. Dengan berat hati Sang Prabu akhirnya melarung bayi tampan ini (Raden Paku) atau cucunya ke laut.

Alkisah bayi ini akhirnya ditemukan oleh nahkoda kapal dalam sebuah peti terbuka lengkap (mungkin) dengan peralatan bayi dan nama yg tertera pada benda tsb. Dan dibawa bersama kapal yang sedang berlayar menuju pelabuhan  Gresik. Setibanya di Gresik ia diserahkan pada sang pemilik kapal yaitu Nyai Gede Pinatih. Nyai Gede Pinatih ini pengusaha sekaligus janda dari Patih Samboja, bekas abdi dalem istana Blambangan juga yang diusir raja, lalu pindah ke Kerajaan Majapahit (saat memasuki jaman kemunduran), dan diutus kerajaan untuk tugas di Gresik.(1). Bayi ini segara diasuh jadi anak angkat dan diberi tetenger oleh Nyai Gede dengan nama tambahan Joko Samudro.

Ketika berumur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samodra atau Raden Paku  untuk berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya. Sewaktu mondok di pesantren Ampeldenta, Raden Paku sangat akrab bersahabat dengan putra Raden Rahmat yang bernama Raden Makdum Ibrahim(Sunan Bonang).

Ketika Raden Paku sudah beranjak dewasa Sunan Ampel memberitahukan perihal tentang siapa dirinya, dan menyuruhnya segera menemui ayahandanya di Pasai yaitu Syekh Maulana Ishak atau Syeh Awwalul Islam. Raden Paku berangkat ke Pasai bersama sahabat karibnya Raden Makdum Ibrahim untuk berguru dan menemui ayahandanya.

Syekh Maulana Ishak terharu menerima kedatangan dua pemuda dari tanah jawa ini. Yang salah satunya adalah putranya sendiri. Kelak setelah menimba ilmu di Pasai, Syekh Maulana Ishak memberi tugas kepada dua pemuda ini untuk menyebarkan Islam di seluruh pelosok Jawa. Untuk Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) harus menyebarkan agama Islam di pedalaman tanah Jawa, sedang putranya Si Raden Paku(Sunan Giri I) menyebarkan Islam di pesisir pantai Jawa dan wilayah timur pulau Jawa.

Raden Paku memiliki dua istri, istri pertama putri dari Sunan Ampel Denta yaitu Dewi Murtasiah. Yang kedua Dewi Wardah putri bangsawan Majapahit Ki Ageng Supa Bungkul. Kelak peran serta Raden Paku atau yang terkenal dengan sebutan Sunan Giri I akan sangat menentukan bagi berdirinya kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak dan penyebaran agama Islam di wilayah Indonesia Timur. Dan penerusnya, Sunan Dalem (Giri II) berperang di pihak Demak menyebarkan Islam di pelosok Jawa, menyerang Kadipaten Sengguruh(Malang/Pasuruan) yang enggan mengakui kekuasaan Islam Demak. Juga penerus lainnya Sunan Prapen (Giri IV) menggantikan posisi kakaknya Sunan Giri III yang gugur dalam ekspedisi Sultan Trenggana di Panarukan.

Ada kebijakan krusial dari Giri Kedaton di jaman Sunan Prapen masih hidup yaitu, mengangkat Hadiwijaya (menantu Sultan Trenggana) yang berkedudukan Di Pajang, sebagai penerus kesultanan Islam Demak yang sah. Hal ini tentunya merupakan salah satu bentuk dukungan moral setelah kematian Sultan Trenggana dan keributan di Kerajaan Islam yang masih muda ini. Hal yang menjadikan krusial karena di masa itu banyak Adipati-adipati di Jawa Timur (bekas kerajaan Majapahit) yang masih enggan mengakui kekuasaan ekspansif kerajaan Islam dari Jawa Tengah ini (Mataram Hadingrat). Sehingga hampir terjadi pertempuran besar antara Senopati Mataram Hadiningrat (Sutawijaya) beserta bregadenya melawan bregade dari persatuan Adipati Jawa Timur yang dipimpin Adipati Surabaya (Kanjeng Panembahan Ratu Jayalengkara) yang masih keturunan dari Sunan Ampel di tahun 1589. Tetapi akhirnya dapat di damaikan oleh Kanjeng Sunan Giri Prapen, sehingga Bregade Mataram Hadiningrat yang dipimpin Senopati Sutawijaya tidak sampai berekspansi ke pelosok Jawa Timur. Yang kelak ekspansi ini akan diteruskan oleh cucunya Kanjeng Sultan Agung. Di masa Sultan Agung inilah kewibawaan kerohanian Giri Kedaton sudah mulai menurun, disebabkan kerena Sultan Agung enggan melibatkan trah dari Giri Kedaton  di Kerajaan Islam Mataram Hadiningrat.

Catatan Kaki

Kamis, 19 April 2012

Kebudayaan di Jawa sebelum pengaruh Islam masuk





J.M.W. Bakker mengatakan:
 “Agama Hindu murni tidak pernah menjadi milik bangsa Indonesia . . . hanya unsur-unsur, bukan asasi sebagai Mahabharata dan Ramayana menjadi popular dan disesuaikan dengan pandangan setempat. Hinduisme tenggelam dalam lautan pemikiran asli, hanya dimanfaatkan untuk lebih menegaskan pandangan hidup Indonesia dimana waktu itu masih samar-samar.”

Karena kebudayaan Jawa yang dihasilkan pada masa Hindu-Budha bersifat terbuka untuk menerima agama apapun, dengan pemahaman bahwa semua agama itu baik dan benar, yang penting pengalaman setiap agama harus ditunjukan bagi kepentingan dan kebesaran masyarakat, agama ageming aji, menurut ungkapan Wedhatama, maka sangatlah wajar jika kebudayaan Jawa sangat bersifat sinkretis (bersifat momot atau memuat), dimana setiap agama diterima dengan sikap terbuka dan tidak memedulikan benar salahnya agama tersebut. Agama Hindu-Budha di negeri asalnya justru bermusuhan, sedangkan di Jawa dapat dipersatukan menjadi konsep agama Syiwa-Budha.

Ciri lain tampak menonjol dalam kebudayaan Jawa adalah sangat bersifat teokratis. Pengeramatan raja sebagai pembawa esensi kedewataan di dunia adalah salah satu bukti teokratis ini. Dalam hal ini Onghokham mengatakan:
“Dalam kerajaan tradisional, agama dijadikan bentuk legimitasi. dalam jaman Hindu-Jawa diperkenalkan konsep dewa-raja, atau raja titising dewa. Ini berarti bahwa raja harus tunduk pada kedudukan raja, untuk mencapai kemurnian di dunia dan akherat. Agama diintegrasikan ke dalam kepentingan kerajaan. Kebudayaan berkisar pada raja, tahta dan keraton. Berbagai tulisan menyatakan, kebesaran raja serta kekeramatannya menjadi satu kesatuan yang final. Memang raja dan kehidupan keraton adalah puncak peradapan kerajaan masa itu.”

Seperti kebudayaan di Jaman Majapahit menurut Clifford Geertz , bersendikan pada peradapan agraris yang bersifat religius dan sana masih dominan, kombinasi yang elegan antara sikap tawakal dan seremonial dengan hirakhisnya akan dapat berlangsung terus. Seperti yang digambarkan oleh Empu Prapanca dalam kitab Negarakertagama.

Masuknya pengaruh agama Hindu-Budha serta kebudayaan Hindia tidak dengan serta merta membongkar kepercayaan animisme-dinamisme sebagai kepercayaan asli yang telah menyuburkan kepercayaan serba magis dan animis dengan cerita orang-orang sakti setengah dewa, juga mantra-mantra-berupa rumusan kata-yang dipandang magis. Karena dipandang bahwa kepercayaan mitologi dan cerita- cerita dewa-dewa kekuatan alam sesuai dengan konsep ruh cikal bakal yang baureksa,  lautan, gunung, ataupun daerah-daerah tertentu.

Kemunculan berbagai macam sastra, terutama yang berkaitan dengan cerita wayang, ikut mendorong pertumbuhan dan perkembangan berbagai cabang kesenian yang sangat halus dan indah. Seni merupakan hasil kebudayaan yang amat berharga untuk mendidik dan memperindah kehidupan manusia. Dimana seni pertunjukan wayang dalam bentuk pentas dapat menjadi sarana yang efektif dalam memasyarakatkan nilai-nilai luhur dalam khazanah kebudayaan Jawa.


Catatan kaki :
1. Dr. Simuh, Sufisme Jawa,YBB,1995, hlm. 120
2. J.W.M. Bakker, Agama Asli Indonesia, hlm. 10
3. Onghokham, Rakyat dan Negara, Jakarta, 1969, hlm. 39-94
4. C. Geertz, Islam Yang Saya Amati, Jakarta, hlm. 147

Senin, 16 April 2012


Perlawanan dari kubu yang lebih ortodok



Pada abad ke-17 ada 4 ulama sufi yang terkenal di Aceh yang amat besar sumbangannya bagi pemikiran agama dan kesusastraan melayu, yakni Hamzah al-Fansuri, Syamsudin Pasai, Abdul Ar-Rauf Singkel, dan Nuruddin Ar-Raniri. Hari kelahiran dan wafatnya Hamzah al-Fansuri tidak diketahui. Yang jelas dia adalah guru Syamsudin Pasai (wafat 1630 M). Hamzah al-Fansuri banyak terpengaruh Ibnu Arabi dan Abdul Karim Al-Jilli yang cenderung ke paham pantheisme-monoisisme, yaitu suatu faham yang memandang bahwa alam semesta ini merupakan aspek lahir atau tajali (manifestasi, pengejawantahan) dari hakikat tunggal, yakni Tuhan.

Sepeninggal Hamzah al -Fansuri, muridnya Syamsuddin Pasai menjadi penasihat raja atau Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M.) yang sangat dihormati. Dengan bantuan sultan, ajaran Hamzah al-Fansuri dan Syamsudin  boleh dikatakan menjadi paham kerajaan Aceh masa itu, dan mengungguli ajaran-ajaran lain. Syamsudin Pasai tampak mengembangkan ajaran atau konsep martabat tujuh dari ajaran kitab Tufah al-Mursalah ila Rubi an-Nabi karya Muhammad bin Fadillah, seorang ulama sufi Gujarat yang wafat tahun 1620 M. konsep martabat tujuh memang merupakan pengembangan dari tajali  dari Ibnu Arabi. Jadi, dasar pikiran ini memang mengarah ke paham union-mistik(Manunggaling Kawula-Gusti , kesatuan manusia dengan Tuhan). Inti  konsep martabat tujuh adalah ajaran bahwa alam semesta , termasuk didalamnya manusia, merupakan tajjali (penampakan keluar) dari hakikat Tuhan  yang bersifat mutlak. Konsepsi  itu sebanyak tujuh martabat, yakni martabat abadiyah, wahdah, wahidiyah, alam arwah, alam mitsal, alam ajsam, dan alam insani (alam manusiawi). Syamsudin Pasai  yang terpengaruh oleh paham Hamzah al-Fansuri yang berpaham pantheisme, di dalam bukunya Jaubar al-Haqa'iq berusaha mengembangkan konsep martabat tujuh dari kitab Tuhfah tersebut ke arah paham pantheisme. Atas dukungan Sultan Iskandar Muda, paham Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin Pasai akhirnya berkembang dan meluas, terutama di Aceh, dan pengaruhnya merembes dalam kepustakaan Jawa hingga abad ke-19 (dalam serat Centhini, Wirid Hidayah Jati, dan sebagainya). Di Jawa paham martabat tujuh yang cenderung pantheistis ini hidup subur atas dukungan raja-raja Mataram.

Di Aceh paham  Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin Pasai yang bersifat pantheistis ini segera mendapat perlawanan keras dari seorang ulama sufi besar penganut Tarekat Rifa’iyah, yakni Nuruddin Ar-Raniri, seorang Indo-Arab yang berasal dari Rader (Gujarat) yang fasih bercakap menulis dalam bahasa melayu. Ar-Raniri yang berada di Aceh dari tahun 1673 M. sampai 1644 M. berusaha membersihkan pengalaman tasawuf dari paham pantheisme yang dipandang menyimpang dari ajaran martabat tujuh yang sebenarnya. Dalam bukunya Hujjatul Shiddiq li Daf’I al-Zindiq, Ar-Raniri  berusaha menafsirkan ajaran martabat tujuh kearah paham yang lebih ortodok, dan mencela penafsiran Syamsuddin Pasai dan paham Hamzah al-Fansuri sebagai faham Wujudiyah yang sesat (zindiq dan bid’ah). Sesudah Sultan Iskandar Muda wafat dan Sultan Iskandar Tsani yang naik tahta (1637-1641 M.), ternyata segera mendukung paham Ar-Raniri yang lebih ortodoks, sehingga  Ar-Raniri bisa bertindak keras dengan dukungan Sultan. Banyak buku Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin Pasai dibinasakan, serta pengikut-pengikut Wujudiyah dikejar-kejar. Sejak masa itu dapat dikatakan tamatlah riwayat paham pantheisme dalam kalangan tasawuf pesantren dari bumi Sumatra.


Catatan kaki :
1. Dr Simuh, Sufisme Jawa, YBB, 1995 hlm. 53
2. Hamka, Perkembangan Tasawuf dari abad ke abad, Jakarta, 1960, hlm.159-165
3. Ruyani, Roestiyah Notokusumo, dan Marihartanto, Studi kepustakaan tentang identitas Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Jakarta, 1982, hlm. 11-16

Mengenal Wirid Hidayah Jati

Wirid Hidayah Jati merupakan satu bentuk karya Pujangga Ronggowarsito yang berusaha menyelaraskan dan berusaha mempertemukan tradisi kejawen dengan unsur-unsur etika dan filsafat kerohanian tasawuf. Dalam hal filsafat kerohanian dan ketuhanan, Ronggowarsito dalam Wirid Hidayah Jati memilih ajaran tasawuf yang berkembang di Aceh abad ke-17 Masehi, yakni ajaran martabat tujuh yang dikembangkan oleh Syamsudin Pasai dan Abdul ar-Rauf Singkel. Ajaran martabat tujuh ini memang merupakan pengembangan dari ajaran tasawuf  Ibnu Arabi yang sering disebut berpaham monoisme(wahdat al wujud) dengan teori penciptaan tajaliyat-nya, yaitu suatu ajaran yang mengatakan bahwa alam semesta  dan manusia merupakan penampakan keluar (manifestasi) yang bertingkat-tingkat dari yang Maha Esa, yaitu Tuhan. Dalam ajaran martabat tujuh diterangkan manusia-manusia tercipta dari tajalli Dzatullah melalui tujuh martabat. Mengenai perincian dari martabat tujuh sudah disebutkan tadi#1, dalam perkembangan dan perubahannya  Wirid Hidayah Jati ini sering disesuaikan dengan alam pikiran kejawen. Ini merupakan bentuk strategi budaya yang diterapkan oleh Ronggowarsito sebagai Pujangga Mataram untuk menjembatani jurang perbedaan antara lingkungan kebudayaan kejawen dengan lingkungan kebudayaan pesantren.

Minggu, 15 April 2012

Pokok-Pokok Ajaran Wirid Hidayah Jati

        Wirid Hidayah Jati mengajarkan bahwa Zat Tuhan memiliki berbagai macam sifat, asma, dan af'al. Tuhan digambarkan sebagai Zat yang berkehendak  berkarya secara aktif, sebagai pencipta dan penguasa alam semesta. Dengan adanya sifat asma, dan af'al ini berarti wirid hidayah mengajarkan paham ketuhanan yang bersifat Theis.
        Adapun konsepsi tentang manusia , Wirid Hidayah Jati mengetengahkan ajaran martabat tujuh yang berasal dari kitab Al Tuhfah al Mursalah ila Rub al -Nabi karya Muhammad Ibnu Fadlillah (seorang sufi India yang wafat tahun 1620). Martabat tujuh adalah pengembangan dari suatu faham ketuhanan dalam tasawuf yang cenderung ke arah pantheitis-monis. Suatu paham yang mengatakan bahwa segala yang ada di alam semesta ini merupakan aspek lahir dari suatu hakekat yang tunggal, yakni Tuhan. Menurut Muhammad Ibnu Fadlillah, Tuhan sebagai zat mutlak yang kadim tidak dapat diketahui oleh pancaindra, akal maupun khayal (waham). Tuhan sebagai wujud mutlak baru bisa dikenal setelah ber-tajjalli (menampakan keluar) sebanyak tujuh martabat. Ketujuh martabat berurutan sebagai berikut:

a.   Alam Abadiyat, Yaitu martabat Zat yang bersifat la'ta'yun atau martabat sepi. Yaitu zat yang bersifat   mutlak, tiada dikenal oleh siapapun.
b.   Martabat Wahdat dan disebut pula Hakikat Muhammadiyah (Nur Muhammad). yaitu permulaan  ta'yun (nyata pertama) merupakan kesatuan yang mengandung ketajaman dimana belum ada pemisahan satu terhadap yang lainnya. Belum ada perbedaan antara ilmu, alim, dan maklum. Atau ibarat biji  belum ada pemisah antara akar, batang dan daun.
c.   Martabat Wahidiyat yang juga disebut hakikat manusia, Wahidiyat adalah kesatuan yang mengandung kejamakan, dan merupakan ta'yun kedua dimana sebagian telah tampak terpisah-pisah secara jelas. Ibarat ilmu Tuhan terhadap Zat, sifat, dan asma serta segala perwujudan, telah pasti dalam ilmu Tuhan. Dari ketiga martabat batin (Ahadiyat, Wahdat, dan Wahidiyat) yang bersifat kadim dan tetap, muncullah empat martabat lahir dan merupakan a'yan karijah, yaitu
d.   Martabat alam arwah, yaitu segala sesuatu yang masih mujarrad atau basit.
e.   Martabat alam mitsal, yaitu ibarat sesuatu yang tersusun secara halus, tidak dapat dibagi dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya
f.   Martabat alam ajsam, ibarat sesuatu yang telah terukur. Telah jelas tebal tipisnya, dapat dibagi-bagi.
g.  Martabat insan kamil, mencakup keenam mertabat yang terdahulu, yakni tiga martabat batin (Ahadiyah, Wahdat, dan Wahidiyat) dan martabat lahir (alam arwah, alam mitsal, dan alam afsam).

Catatan kaki :
1. Dr. Simuh Sufisme Jawa, YBB, 1995, hlm. 119
2. Mysticism. The teaching or belive that knowledge of Real Truth of GOD may be obtained through meditation or spiritual insight, independently of the mind and the senses (A.S. Horby dkk. Oxford University, hlm. 828)