Kamis, 19 April 2012

Kebudayaan di Jawa sebelum pengaruh Islam masuk





J.M.W. Bakker mengatakan:
 “Agama Hindu murni tidak pernah menjadi milik bangsa Indonesia . . . hanya unsur-unsur, bukan asasi sebagai Mahabharata dan Ramayana menjadi popular dan disesuaikan dengan pandangan setempat. Hinduisme tenggelam dalam lautan pemikiran asli, hanya dimanfaatkan untuk lebih menegaskan pandangan hidup Indonesia dimana waktu itu masih samar-samar.”

Karena kebudayaan Jawa yang dihasilkan pada masa Hindu-Budha bersifat terbuka untuk menerima agama apapun, dengan pemahaman bahwa semua agama itu baik dan benar, yang penting pengalaman setiap agama harus ditunjukan bagi kepentingan dan kebesaran masyarakat, agama ageming aji, menurut ungkapan Wedhatama, maka sangatlah wajar jika kebudayaan Jawa sangat bersifat sinkretis (bersifat momot atau memuat), dimana setiap agama diterima dengan sikap terbuka dan tidak memedulikan benar salahnya agama tersebut. Agama Hindu-Budha di negeri asalnya justru bermusuhan, sedangkan di Jawa dapat dipersatukan menjadi konsep agama Syiwa-Budha.

Ciri lain tampak menonjol dalam kebudayaan Jawa adalah sangat bersifat teokratis. Pengeramatan raja sebagai pembawa esensi kedewataan di dunia adalah salah satu bukti teokratis ini. Dalam hal ini Onghokham mengatakan:
“Dalam kerajaan tradisional, agama dijadikan bentuk legimitasi. dalam jaman Hindu-Jawa diperkenalkan konsep dewa-raja, atau raja titising dewa. Ini berarti bahwa raja harus tunduk pada kedudukan raja, untuk mencapai kemurnian di dunia dan akherat. Agama diintegrasikan ke dalam kepentingan kerajaan. Kebudayaan berkisar pada raja, tahta dan keraton. Berbagai tulisan menyatakan, kebesaran raja serta kekeramatannya menjadi satu kesatuan yang final. Memang raja dan kehidupan keraton adalah puncak peradapan kerajaan masa itu.”

Seperti kebudayaan di Jaman Majapahit menurut Clifford Geertz , bersendikan pada peradapan agraris yang bersifat religius dan sana masih dominan, kombinasi yang elegan antara sikap tawakal dan seremonial dengan hirakhisnya akan dapat berlangsung terus. Seperti yang digambarkan oleh Empu Prapanca dalam kitab Negarakertagama.

Masuknya pengaruh agama Hindu-Budha serta kebudayaan Hindia tidak dengan serta merta membongkar kepercayaan animisme-dinamisme sebagai kepercayaan asli yang telah menyuburkan kepercayaan serba magis dan animis dengan cerita orang-orang sakti setengah dewa, juga mantra-mantra-berupa rumusan kata-yang dipandang magis. Karena dipandang bahwa kepercayaan mitologi dan cerita- cerita dewa-dewa kekuatan alam sesuai dengan konsep ruh cikal bakal yang baureksa,  lautan, gunung, ataupun daerah-daerah tertentu.

Kemunculan berbagai macam sastra, terutama yang berkaitan dengan cerita wayang, ikut mendorong pertumbuhan dan perkembangan berbagai cabang kesenian yang sangat halus dan indah. Seni merupakan hasil kebudayaan yang amat berharga untuk mendidik dan memperindah kehidupan manusia. Dimana seni pertunjukan wayang dalam bentuk pentas dapat menjadi sarana yang efektif dalam memasyarakatkan nilai-nilai luhur dalam khazanah kebudayaan Jawa.


Catatan kaki :
1. Dr. Simuh, Sufisme Jawa,YBB,1995, hlm. 120
2. J.W.M. Bakker, Agama Asli Indonesia, hlm. 10
3. Onghokham, Rakyat dan Negara, Jakarta, 1969, hlm. 39-94
4. C. Geertz, Islam Yang Saya Amati, Jakarta, hlm. 147

Tidak ada komentar :

Posting Komentar