J.M.W. Bakker mengatakan:
“Agama Hindu murni tidak pernah menjadi milik bangsa Indonesia
. . . hanya unsur-unsur, bukan asasi sebagai Mahabharata dan Ramayana menjadi popular
dan disesuaikan dengan pandangan setempat. Hinduisme tenggelam dalam lautan
pemikiran asli, hanya dimanfaatkan untuk lebih menegaskan pandangan hidup Indonesia
dimana waktu itu masih samar-samar.”
Karena kebudayaan Jawa yang dihasilkan pada masa Hindu-Budha
bersifat terbuka untuk menerima agama apapun, dengan pemahaman bahwa semua
agama itu baik dan benar, yang penting pengalaman setiap agama harus ditunjukan
bagi kepentingan dan kebesaran masyarakat, agama ageming aji, menurut ungkapan
Wedhatama, maka sangatlah wajar jika kebudayaan Jawa sangat bersifat sinkretis
(bersifat momot atau memuat), dimana setiap agama diterima dengan sikap terbuka
dan tidak memedulikan benar salahnya agama tersebut. Agama Hindu-Budha di negeri
asalnya justru bermusuhan, sedangkan di Jawa dapat dipersatukan menjadi konsep
agama Syiwa-Budha.
Ciri lain tampak menonjol dalam kebudayaan Jawa adalah sangat
bersifat teokratis. Pengeramatan raja sebagai pembawa esensi kedewataan di dunia
adalah salah satu bukti teokratis ini. Dalam hal ini Onghokham mengatakan:
“Dalam kerajaan tradisional, agama dijadikan bentuk
legimitasi. dalam jaman Hindu-Jawa diperkenalkan konsep dewa-raja, atau raja
titising dewa. Ini berarti bahwa raja harus tunduk pada kedudukan raja, untuk
mencapai kemurnian di dunia dan akherat. Agama diintegrasikan ke dalam
kepentingan kerajaan. Kebudayaan berkisar pada raja, tahta dan keraton. Berbagai
tulisan menyatakan, kebesaran raja serta kekeramatannya menjadi satu kesatuan
yang final. Memang raja dan kehidupan keraton adalah puncak peradapan kerajaan
masa itu.”
Seperti kebudayaan di Jaman Majapahit menurut Clifford Geertz
, bersendikan pada peradapan agraris yang bersifat religius dan sana masih
dominan, kombinasi yang elegan antara sikap tawakal dan seremonial dengan
hirakhisnya akan dapat berlangsung terus. Seperti yang digambarkan oleh Empu
Prapanca dalam kitab Negarakertagama.
Masuknya pengaruh agama Hindu-Budha serta kebudayaan Hindia
tidak dengan serta merta membongkar kepercayaan animisme-dinamisme sebagai
kepercayaan asli yang telah menyuburkan kepercayaan serba magis dan animis
dengan cerita orang-orang sakti setengah dewa, juga mantra-mantra-berupa
rumusan kata-yang dipandang magis. Karena dipandang bahwa kepercayaan mitologi
dan cerita- cerita dewa-dewa kekuatan alam sesuai dengan konsep ruh cikal bakal
yang baureksa, lautan, gunung, ataupun
daerah-daerah tertentu.
Kemunculan berbagai macam sastra, terutama yang berkaitan
dengan cerita wayang, ikut mendorong pertumbuhan dan perkembangan berbagai
cabang kesenian yang sangat halus dan indah. Seni merupakan hasil kebudayaan
yang amat berharga untuk mendidik dan memperindah kehidupan manusia. Dimana seni
pertunjukan wayang dalam bentuk pentas dapat menjadi sarana yang efektif dalam
memasyarakatkan nilai-nilai luhur dalam khazanah kebudayaan Jawa.
Catatan kaki :
1. Dr. Simuh, Sufisme Jawa,YBB,1995, hlm. 120
2. J.W.M. Bakker, Agama Asli Indonesia, hlm. 10
3. Onghokham, Rakyat dan Negara, Jakarta, 1969, hlm. 39-94
4. C. Geertz, Islam Yang Saya Amati, Jakarta, hlm. 147
Tidak ada komentar :
Posting Komentar