Perlawanan dari kubu yang lebih ortodok
Pada abad ke-17 ada 4 ulama sufi yang terkenal di Aceh yang amat besar sumbangannya bagi pemikiran agama dan kesusastraan melayu, yakni Hamzah al-Fansuri, Syamsudin Pasai, Abdul Ar-Rauf Singkel, dan Nuruddin Ar-Raniri. Hari kelahiran dan wafatnya Hamzah al-Fansuri tidak diketahui. Yang jelas dia adalah guru Syamsudin Pasai (wafat 1630 M). Hamzah al-Fansuri banyak terpengaruh Ibnu Arabi dan Abdul Karim Al-Jilli yang cenderung ke paham pantheisme-monoisisme, yaitu suatu faham yang memandang bahwa alam semesta ini merupakan aspek lahir atau tajali (manifestasi, pengejawantahan) dari hakikat tunggal, yakni Tuhan.
Sepeninggal Hamzah al -Fansuri, muridnya Syamsuddin Pasai menjadi penasihat raja atau Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M.) yang sangat dihormati. Dengan bantuan sultan, ajaran Hamzah al-Fansuri dan Syamsudin boleh dikatakan menjadi paham kerajaan Aceh masa itu, dan mengungguli ajaran-ajaran lain. Syamsudin Pasai tampak mengembangkan ajaran atau konsep martabat tujuh dari ajaran kitab Tufah al-Mursalah ila Rubi an-Nabi karya Muhammad bin Fadillah, seorang ulama sufi Gujarat yang wafat tahun 1620 M. konsep martabat tujuh memang merupakan pengembangan dari tajali dari Ibnu Arabi. Jadi, dasar pikiran ini memang mengarah ke paham union-mistik(Manunggaling Kawula-Gusti , kesatuan manusia dengan Tuhan). Inti konsep martabat tujuh adalah ajaran bahwa alam semesta , termasuk didalamnya manusia, merupakan tajjali (penampakan keluar) dari hakikat Tuhan yang bersifat mutlak. Konsepsi itu sebanyak tujuh martabat, yakni martabat abadiyah, wahdah, wahidiyah, alam arwah, alam mitsal, alam ajsam, dan alam insani (alam manusiawi). Syamsudin Pasai yang terpengaruh oleh paham Hamzah al-Fansuri yang berpaham pantheisme, di dalam bukunya Jaubar al-Haqa'iq berusaha mengembangkan konsep martabat tujuh dari kitab Tuhfah tersebut ke arah paham pantheisme. Atas dukungan Sultan Iskandar Muda, paham Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin Pasai akhirnya berkembang dan meluas, terutama di Aceh, dan pengaruhnya merembes dalam kepustakaan Jawa hingga abad ke-19 (dalam serat Centhini, Wirid Hidayah Jati, dan sebagainya). Di Jawa paham martabat tujuh yang cenderung pantheistis ini hidup subur atas dukungan raja-raja Mataram.
Di Aceh paham
Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin Pasai yang bersifat pantheistis ini
segera mendapat perlawanan keras dari seorang ulama sufi besar penganut Tarekat
Rifa’iyah, yakni Nuruddin Ar-Raniri, seorang Indo-Arab yang berasal dari Rader
(Gujarat) yang fasih bercakap menulis dalam bahasa melayu. Ar-Raniri yang
berada di Aceh dari tahun 1673 M. sampai 1644 M. berusaha membersihkan
pengalaman tasawuf dari paham pantheisme yang dipandang menyimpang dari ajaran
martabat tujuh yang sebenarnya. Dalam bukunya Hujjatul Shiddiq li Daf’I al-Zindiq,
Ar-Raniri berusaha menafsirkan ajaran
martabat tujuh kearah paham yang lebih ortodok, dan mencela penafsiran Syamsuddin
Pasai dan paham Hamzah al-Fansuri sebagai faham Wujudiyah yang sesat (zindiq dan
bid’ah). Sesudah Sultan Iskandar Muda wafat dan Sultan Iskandar Tsani yang naik
tahta (1637-1641 M.), ternyata segera mendukung paham Ar-Raniri yang lebih
ortodoks, sehingga Ar-Raniri bisa
bertindak keras dengan dukungan Sultan. Banyak buku Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin
Pasai dibinasakan, serta pengikut-pengikut Wujudiyah dikejar-kejar. Sejak masa
itu dapat dikatakan tamatlah riwayat paham pantheisme dalam kalangan tasawuf
pesantren dari bumi Sumatra.
Catatan kaki :
1. Dr Simuh, Sufisme Jawa, YBB, 1995 hlm. 53
2. Hamka, Perkembangan Tasawuf dari abad ke abad, Jakarta, 1960, hlm.159-165
3. Ruyani, Roestiyah Notokusumo, dan Marihartanto, Studi kepustakaan tentang identitas Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Jakarta, 1982, hlm. 11-16
Tidak ada komentar :
Posting Komentar