Senin, 23 April 2012
Kamis, 19 April 2012
Kebudayaan di Jawa sebelum pengaruh Islam masuk
J.M.W. Bakker mengatakan:
“Agama Hindu murni tidak pernah menjadi milik bangsa Indonesia
. . . hanya unsur-unsur, bukan asasi sebagai Mahabharata dan Ramayana menjadi popular
dan disesuaikan dengan pandangan setempat. Hinduisme tenggelam dalam lautan
pemikiran asli, hanya dimanfaatkan untuk lebih menegaskan pandangan hidup Indonesia
dimana waktu itu masih samar-samar.”
Karena kebudayaan Jawa yang dihasilkan pada masa Hindu-Budha
bersifat terbuka untuk menerima agama apapun, dengan pemahaman bahwa semua
agama itu baik dan benar, yang penting pengalaman setiap agama harus ditunjukan
bagi kepentingan dan kebesaran masyarakat, agama ageming aji, menurut ungkapan
Wedhatama, maka sangatlah wajar jika kebudayaan Jawa sangat bersifat sinkretis
(bersifat momot atau memuat), dimana setiap agama diterima dengan sikap terbuka
dan tidak memedulikan benar salahnya agama tersebut. Agama Hindu-Budha di negeri
asalnya justru bermusuhan, sedangkan di Jawa dapat dipersatukan menjadi konsep
agama Syiwa-Budha.
Ciri lain tampak menonjol dalam kebudayaan Jawa adalah sangat
bersifat teokratis. Pengeramatan raja sebagai pembawa esensi kedewataan di dunia
adalah salah satu bukti teokratis ini. Dalam hal ini Onghokham mengatakan:
“Dalam kerajaan tradisional, agama dijadikan bentuk
legimitasi. dalam jaman Hindu-Jawa diperkenalkan konsep dewa-raja, atau raja
titising dewa. Ini berarti bahwa raja harus tunduk pada kedudukan raja, untuk
mencapai kemurnian di dunia dan akherat. Agama diintegrasikan ke dalam
kepentingan kerajaan. Kebudayaan berkisar pada raja, tahta dan keraton. Berbagai
tulisan menyatakan, kebesaran raja serta kekeramatannya menjadi satu kesatuan
yang final. Memang raja dan kehidupan keraton adalah puncak peradapan kerajaan
masa itu.”
Seperti kebudayaan di Jaman Majapahit menurut Clifford Geertz
, bersendikan pada peradapan agraris yang bersifat religius dan sana masih
dominan, kombinasi yang elegan antara sikap tawakal dan seremonial dengan
hirakhisnya akan dapat berlangsung terus. Seperti yang digambarkan oleh Empu
Prapanca dalam kitab Negarakertagama.
Masuknya pengaruh agama Hindu-Budha serta kebudayaan Hindia
tidak dengan serta merta membongkar kepercayaan animisme-dinamisme sebagai
kepercayaan asli yang telah menyuburkan kepercayaan serba magis dan animis
dengan cerita orang-orang sakti setengah dewa, juga mantra-mantra-berupa
rumusan kata-yang dipandang magis. Karena dipandang bahwa kepercayaan mitologi
dan cerita- cerita dewa-dewa kekuatan alam sesuai dengan konsep ruh cikal bakal
yang baureksa, lautan, gunung, ataupun
daerah-daerah tertentu.
Kemunculan berbagai macam sastra, terutama yang berkaitan
dengan cerita wayang, ikut mendorong pertumbuhan dan perkembangan berbagai
cabang kesenian yang sangat halus dan indah. Seni merupakan hasil kebudayaan
yang amat berharga untuk mendidik dan memperindah kehidupan manusia. Dimana seni
pertunjukan wayang dalam bentuk pentas dapat menjadi sarana yang efektif dalam
memasyarakatkan nilai-nilai luhur dalam khazanah kebudayaan Jawa.
Catatan kaki :
1. Dr. Simuh, Sufisme Jawa,YBB,1995, hlm. 120
2. J.W.M. Bakker, Agama Asli Indonesia, hlm. 10
3. Onghokham, Rakyat dan Negara, Jakarta, 1969, hlm. 39-94
4. C. Geertz, Islam Yang Saya Amati, Jakarta, hlm. 147
Senin, 16 April 2012
Perlawanan dari kubu yang lebih ortodok
Pada abad ke-17 ada 4 ulama sufi yang terkenal di Aceh yang amat besar sumbangannya bagi pemikiran agama dan kesusastraan melayu, yakni Hamzah al-Fansuri, Syamsudin Pasai, Abdul Ar-Rauf Singkel, dan Nuruddin Ar-Raniri. Hari kelahiran dan wafatnya Hamzah al-Fansuri tidak diketahui. Yang jelas dia adalah guru Syamsudin Pasai (wafat 1630 M). Hamzah al-Fansuri banyak terpengaruh Ibnu Arabi dan Abdul Karim Al-Jilli yang cenderung ke paham pantheisme-monoisisme, yaitu suatu faham yang memandang bahwa alam semesta ini merupakan aspek lahir atau tajali (manifestasi, pengejawantahan) dari hakikat tunggal, yakni Tuhan.
Sepeninggal Hamzah al -Fansuri, muridnya Syamsuddin Pasai menjadi penasihat raja atau Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M.) yang sangat dihormati. Dengan bantuan sultan, ajaran Hamzah al-Fansuri dan Syamsudin boleh dikatakan menjadi paham kerajaan Aceh masa itu, dan mengungguli ajaran-ajaran lain. Syamsudin Pasai tampak mengembangkan ajaran atau konsep martabat tujuh dari ajaran kitab Tufah al-Mursalah ila Rubi an-Nabi karya Muhammad bin Fadillah, seorang ulama sufi Gujarat yang wafat tahun 1620 M. konsep martabat tujuh memang merupakan pengembangan dari tajali dari Ibnu Arabi. Jadi, dasar pikiran ini memang mengarah ke paham union-mistik(Manunggaling Kawula-Gusti , kesatuan manusia dengan Tuhan). Inti konsep martabat tujuh adalah ajaran bahwa alam semesta , termasuk didalamnya manusia, merupakan tajjali (penampakan keluar) dari hakikat Tuhan yang bersifat mutlak. Konsepsi itu sebanyak tujuh martabat, yakni martabat abadiyah, wahdah, wahidiyah, alam arwah, alam mitsal, alam ajsam, dan alam insani (alam manusiawi). Syamsudin Pasai yang terpengaruh oleh paham Hamzah al-Fansuri yang berpaham pantheisme, di dalam bukunya Jaubar al-Haqa'iq berusaha mengembangkan konsep martabat tujuh dari kitab Tuhfah tersebut ke arah paham pantheisme. Atas dukungan Sultan Iskandar Muda, paham Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin Pasai akhirnya berkembang dan meluas, terutama di Aceh, dan pengaruhnya merembes dalam kepustakaan Jawa hingga abad ke-19 (dalam serat Centhini, Wirid Hidayah Jati, dan sebagainya). Di Jawa paham martabat tujuh yang cenderung pantheistis ini hidup subur atas dukungan raja-raja Mataram.
Di Aceh paham
Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin Pasai yang bersifat pantheistis ini
segera mendapat perlawanan keras dari seorang ulama sufi besar penganut Tarekat
Rifa’iyah, yakni Nuruddin Ar-Raniri, seorang Indo-Arab yang berasal dari Rader
(Gujarat) yang fasih bercakap menulis dalam bahasa melayu. Ar-Raniri yang
berada di Aceh dari tahun 1673 M. sampai 1644 M. berusaha membersihkan
pengalaman tasawuf dari paham pantheisme yang dipandang menyimpang dari ajaran
martabat tujuh yang sebenarnya. Dalam bukunya Hujjatul Shiddiq li Daf’I al-Zindiq,
Ar-Raniri berusaha menafsirkan ajaran
martabat tujuh kearah paham yang lebih ortodok, dan mencela penafsiran Syamsuddin
Pasai dan paham Hamzah al-Fansuri sebagai faham Wujudiyah yang sesat (zindiq dan
bid’ah). Sesudah Sultan Iskandar Muda wafat dan Sultan Iskandar Tsani yang naik
tahta (1637-1641 M.), ternyata segera mendukung paham Ar-Raniri yang lebih
ortodoks, sehingga Ar-Raniri bisa
bertindak keras dengan dukungan Sultan. Banyak buku Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin
Pasai dibinasakan, serta pengikut-pengikut Wujudiyah dikejar-kejar. Sejak masa
itu dapat dikatakan tamatlah riwayat paham pantheisme dalam kalangan tasawuf
pesantren dari bumi Sumatra.
Catatan kaki :
1. Dr Simuh, Sufisme Jawa, YBB, 1995 hlm. 53
2. Hamka, Perkembangan Tasawuf dari abad ke abad, Jakarta, 1960, hlm.159-165
3. Ruyani, Roestiyah Notokusumo, dan Marihartanto, Studi kepustakaan tentang identitas Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Jakarta, 1982, hlm. 11-16
Mengenal Wirid Hidayah Jati
Wirid Hidayah Jati merupakan satu bentuk karya Pujangga Ronggowarsito yang berusaha menyelaraskan dan berusaha mempertemukan tradisi kejawen dengan unsur-unsur etika dan filsafat kerohanian tasawuf. Dalam hal filsafat kerohanian dan ketuhanan, Ronggowarsito dalam Wirid Hidayah Jati memilih ajaran tasawuf yang berkembang di Aceh abad ke-17 Masehi, yakni ajaran martabat tujuh yang dikembangkan oleh Syamsudin Pasai dan Abdul ar-Rauf Singkel. Ajaran martabat tujuh ini memang merupakan pengembangan dari ajaran tasawuf Ibnu Arabi yang sering disebut berpaham monoisme(wahdat al wujud) dengan teori penciptaan tajaliyat-nya, yaitu suatu ajaran yang mengatakan bahwa alam semesta dan manusia merupakan penampakan keluar (manifestasi) yang bertingkat-tingkat dari yang Maha Esa, yaitu Tuhan. Dalam ajaran martabat tujuh diterangkan manusia-manusia tercipta dari tajalli Dzatullah melalui tujuh martabat. Mengenai perincian dari martabat tujuh sudah disebutkan tadi#1, dalam perkembangan dan perubahannya Wirid Hidayah Jati ini sering disesuaikan dengan alam pikiran kejawen. Ini merupakan bentuk strategi budaya yang diterapkan oleh Ronggowarsito sebagai Pujangga Mataram untuk menjembatani jurang perbedaan antara lingkungan kebudayaan kejawen dengan lingkungan kebudayaan pesantren.
Minggu, 15 April 2012
Pokok-Pokok Ajaran Wirid Hidayah Jati
Wirid Hidayah Jati mengajarkan bahwa Zat Tuhan memiliki berbagai macam sifat, asma, dan af'al. Tuhan digambarkan sebagai Zat yang berkehendak berkarya secara aktif, sebagai pencipta dan penguasa alam semesta. Dengan adanya sifat asma, dan af'al ini berarti wirid hidayah mengajarkan paham ketuhanan yang bersifat Theis.
Adapun konsepsi tentang manusia , Wirid Hidayah Jati mengetengahkan ajaran martabat tujuh yang berasal dari kitab Al Tuhfah al Mursalah ila Rub al -Nabi karya Muhammad Ibnu Fadlillah (seorang sufi India yang wafat tahun 1620). Martabat tujuh adalah pengembangan dari suatu faham ketuhanan dalam tasawuf yang cenderung ke arah pantheitis-monis. Suatu paham yang mengatakan bahwa segala yang ada di alam semesta ini merupakan aspek lahir dari suatu hakekat yang tunggal, yakni Tuhan. Menurut Muhammad Ibnu Fadlillah, Tuhan sebagai zat mutlak yang kadim tidak dapat diketahui oleh pancaindra, akal maupun khayal (waham). Tuhan sebagai wujud mutlak baru bisa dikenal setelah ber-tajjalli (menampakan keluar) sebanyak tujuh martabat. Ketujuh martabat berurutan sebagai berikut:
a. Alam Abadiyat, Yaitu martabat Zat yang bersifat la'ta'yun atau martabat sepi. Yaitu zat yang bersifat mutlak, tiada dikenal oleh siapapun.
b. Martabat Wahdat dan disebut pula Hakikat Muhammadiyah (Nur Muhammad). yaitu permulaan ta'yun (nyata pertama) merupakan kesatuan yang mengandung ketajaman dimana belum ada pemisahan satu terhadap yang lainnya. Belum ada perbedaan antara ilmu, alim, dan maklum. Atau ibarat biji belum ada pemisah antara akar, batang dan daun.
c. Martabat Wahidiyat yang juga disebut hakikat manusia, Wahidiyat adalah kesatuan yang mengandung kejamakan, dan merupakan ta'yun kedua dimana sebagian telah tampak terpisah-pisah secara jelas. Ibarat ilmu Tuhan terhadap Zat, sifat, dan asma serta segala perwujudan, telah pasti dalam ilmu Tuhan. Dari ketiga martabat batin (Ahadiyat, Wahdat, dan Wahidiyat) yang bersifat kadim dan tetap, muncullah empat martabat lahir dan merupakan a'yan karijah, yaitu
d. Martabat alam arwah, yaitu segala sesuatu yang masih mujarrad atau basit.
e. Martabat alam mitsal, yaitu ibarat sesuatu yang tersusun secara halus, tidak dapat dibagi dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya
f. Martabat alam ajsam, ibarat sesuatu yang telah terukur. Telah jelas tebal tipisnya, dapat dibagi-bagi.
g. Martabat insan kamil, mencakup keenam mertabat yang terdahulu, yakni tiga martabat batin (Ahadiyah, Wahdat, dan Wahidiyat) dan martabat lahir (alam arwah, alam mitsal, dan alam afsam).
Catatan kaki :
1. Dr. Simuh Sufisme Jawa, YBB, 1995, hlm. 119
2. Mysticism. The teaching or belive that knowledge of Real Truth of GOD may be obtained through meditation or spiritual insight, independently of the mind and the senses (A.S. Horby dkk. Oxford University, hlm. 828)
Langganan:
Postingan
(
Atom
)