Senin, 30 Juli 2012
Senin, 18 Juni 2012
Sistem Kekerabatan Dalam Budaya Jawa
Merujuk Koentjaraningrat, budaya Jawa adalah budaya yang timbul dan tumbuh dalam kehidupan etnis (suku bangsa ) Jawa,
biasanya bermukim di kawasan Jawa Tengah maupun di Jawa Timur. Kebudayaan Jawa
tidak biasa dipisahkan dengan pengaruh kerajaan Mataram, sebelum terpecah
menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasuhunan Surakarta. Sementara itu Marbangun Harjowirogo
tidak memberi batasan spesial terhadap orang yang disebut sebagai orang Jawa. Menurutnya, mereka
yang berpikir dan berperasaan seperti moyang mereka di Jawa Tengah maupun Jawa Timur
sebagai pusat-pusat kebudayaan, baik yang berada di pulau Jawa maupun yang
tinggal di luar pulau bahkan di Negara lain.
Orang Jawa di jaman kolonialisme
berkelompok menjadi beberapa golongan berdasarkan status sosial yaitu wong cilik rata-rata kaum petani dan
buruh. Juga golongan priyai termasuk
pegawai /ningrat/kaum intelektual dan kaum saudagar pribumi. Disamping lapisan
sosial ekonomi itu, masih dibedakan pula atas dasar keagamaan meskipun secara
nominal juga beragama Islam namun berbeda cara penghayatannya. Menurut Clifford
Greertz kelompok ini dipisahkan menjadi dua golongan, yang pertama adalah Islam
Kejawen atau kaum Abangan. Golongan kedua adalah orang-orang Jawa yang berusaha
untuk hidup menurut ajaran agama Islam atau golongan Santri.
Dalam sistem kekeluargaan,
masyarakat tidak mengenal sistem marga. Meskipun demikian, hubungan
kekeluargaan di luar keluarga inti dianggap penting. Demikian juga keturunan
dari seorang nenek moyang yang sama merupakan faktor penting dalam masyarakat Jawa
dan dianggap sebagai kelompok yang termasuk kerabat. Setiap orang Jawa melihat
dirinya sendiri berada di tengah-tengah sebuah tatanan jajaran: kakek-nenek,
bapak-ibu, kakak-adik, dan cucu-cucu.
Bagi individu Jawa, keluarga
merupakan sarang keamanan dan sumber perlindungan. Dalam keluarga, hubungan
antara anggotanya diharapkan berlandaskan rasa cinta (tresna). Di dalam rasa tresna
itu nampak apabila orang tidak merasa isin
satu sama lainnya. Sebab bagi perasaan Jawa, perbedaan yang berarti secara
psikologis adalah perbedaan keakraban (tresna)
dan hubungan yang menuntut sikap hormat. Hanya di dalam keluarga sajalah
suasana akrab ideal, kurang lebih terwujud.
Di dalam keluarga pulalah orang Jawa
belajar mengembangkan keutamaan-keutamaan seperti belas kasihan, kebaikan,
kemurahan hati, kemampuan untuk menangkap kegelisahan orang lain, rasa tanggung
jawab sosial, keprihatinan terhadap sesama dan semacamnya. Keluarga adalah
tempat berkembangnya suatu perasaan moral praktis yang teramat mendalam, yang
tidak memerlukan legitimasi teoritis. Keluarga bagi orang Jawa merupakan guru
pertama yang mengajarkan bagaimana ia harus berperasaan, berpikir, dan bersikap
menghadapi realitas. Oleh karena itu
seorang ibu Jawa diharapkan mampu
mendidik anak-anaknya sekaligus memberi rasa tresna dan rasa aman. Mereka itulah yang memberikan kepadanya
kesejahteraan emosional serta titik keseimbangan dalam orentasi sosial. Di sini
proses sosialisasi merupakan suatu proses berkesinambungan di sepanjang sejarah
kehidupan pribadinya. Keluarga terdekat itulah yang dengan tegur sapanya dari
hari ke hari lewat peragaan kongkret dalam sikap keseharian mereka, menjaga
agar anak tidak terlalu jauh menyeleweng dari rel kaidah-kaidah budaya mereka.
Perkembangan anak benar-benar tergantung pada lingkungan mereka.
Apabila orang Jawa telah dewasa,
maka ia telah membatinkan bahwa kesejahteraanya bahkan eksistensinya tergantung
pada kesatuan kelompoknya. Dengan demikian, secara piskologis, orang Jawa
membutuhkan dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa, yaitu kerukunan dan prinsip hormat. Rukun secara psikologis diterjemahkan
di dalam keadaan dimana tidak terdapat perasaan-perasaan negative, yaitu suatu
keadaan yang aman dan tentram. Prinsip rasa hormat adalah setiap orang dalam
bersikap dan membawa diri dalam hal pola interaksi dalam masyarakat Jawa.
Prinsip ini mengatakan bahwa setiap orang dalam bersikap dan membawa diri serta
dalam cara berbicara, hendaknya selalu harus memperlihatkan sikap hormat
terhadap orang lain sesuai derajat dan kedudukannya.
Dalam prinsip hormat ini, bahasa
memainkan peranan yang penting, sebab dalam pemakaiannya, mengungkapkan tatanan
yang ada. Penggunaan bahasa Jawa mengandaikan kesadaran akan kedudukan sosial
masing-masing. Dan dalam kefasihannya menggunakan sikap-sikap hormat yang
tepat, seorang Jawa mengembangkan sejak kecil lewat pendidikan keluarga,
terutama dari sang ibu, khususnya dalam hal tatakrama. Sebab dalam pemeliharaan
bentuk tatakrama yang terwujud dalam sikap tubuh, isi dan bentuk pembicaraan
itu dimaksudkan untuk menciptakan situasi yang tenang dan mantap di segala
bidang hubungan sosial yang ada, serta berlaku pula sebagai kekuatan pemersatu
yang kuat dalam masyarakat Jawa.
Dalam bukunya Etika Jawa, Magnis Suseno
mengutip pandangan Hildred Greertz yang mengatakan bahwa pendidikan mengenai kefasihan
menggunakan sikap-sikap hormat yang tepat itu tercapai melalui tiga perasaan
yang dipelajari oleh anak Jawa dalam situasi-situasi yang mengharuskan sikap
hormat kepada orang lain. Yaitu menjadi wedi
(takut), isin (malu), dan sungkan (rasa segan, sopan, hormat). Wedi, isin, sungkan merupakan suatu kesinambungan
perasaan-perasaan yang mempunyai fungsi sosial untuk memberi dukungan
psikologis terhadap tuntutan-tuntutan prinsip hormat.
Bagi orang Jawa, seseorang yang
sungguh-sungguh bijaksana yaitu orang yang telah sampai pada “rasa” yang
sebenarnya dapat dikenali karena kehalusannya. Kehalusan bathiniah adalah
apabila seseorang mempunyai sifat-sifat yang
luhur, mampu mengendalikan hawa nafsunya, berbudi, kuat tapa dan
matiraganya. Kehalusan seperti itu menampakan diri dalam sopan-santun berbahasa, dalam sikap pergaulan, dalam hidup
religius, dalam pekerjaan dan aspek-aspek kehidupan lainnya.
Kehalusan dalam pemakaian bahasa
adalah pemilihan kata-kata yang tepat dan cocok untuk dipergunakan terhadap
siapa ia sedang berhadapan dan berbicara. Dalam bahasa Jawa, ada tingkatan
pokok yang menjadi landasan untuk menerapkan ketepatan pemakaian tersebut.
Tingkatan ini adalah bahasa Jawa ngoko,
kromo, dan kromo inggil.
Kehalusan lain yang terwujud pada
sikap seorang Jawa adalah kehalusan dalam pergaulannya. Disamping kemampuan
memakai bahasa yang tepat, juga ditekankan keharusan sikap hormat atau andap asor (rendah hati) yang memainkan
peran penting dalam pergaulan. Orang Jawa mengidentikkan ketinggian seseorang
dengan pangkatnya. Semakin tinggi pangkat seseorang, makin ia dihormati atau
dihargai.
Salah satu bentuk tata sopan-santun atau basa-basi pergaulan juga dinilai positif adalah kemampuan orang Jawa untuk bersikap ethok-ethok (pura-pura). Ethok-ethok itu diperlihatkan di luar lingkungan keluarganya itu merupakan cara seseorang Jawa untuk tidak memperlihatkan perasaan-perasaan sebenarnya dalam pergaulan demi menjaga ketertiban agar tetap berlangsung. Rasa benci, marah, sedih, tak puas, dan semacam itu sedapat-dapatnya disembunyikan. Orang Jawa diharapkan untuk menghindari keterus-terangan yang serampangan
Dalam dunia batin orang Jawa
idealnya memiliki sikap sepi ing pamrih,
suatu sikap yang tak ingin memaksakan kehendak dan kepentingannya sendiri tanpa
memperhatikan kepentingan sesama, yang mengandung sikap eling, sabar, dan nrimo. Sikap eling adalah sikap yang selalu ingat asal-usulnya. Bahwa ia berasal
dari Yang Illahi dan dengan rendah hati tahu siapa dirinya, dan termasuk didalamnya adalah sikap mawas diri dan
sekaligus bangga akan asal-usulnya. Sikap sabar terwujud dalam keadaan yang
tidak tergesa-gesa, tidak khawatir dalam menghadapi sesuatu. Memiliki kesadaran
akan terjadinya segala sesuatu itu sebagaimana memang semestinya sudah harus
terjadi. Bagi orang Jawa masalah waktu tidak menjadi persolan penting, yang
lebih penting adalah tercapainya suatu tujuan, alon alon waton kelakon.
Sikap nrimo bukan berarti asal menerima saja nasib yang menimpanya tetapi
memiliki arti yang lebih mendalam. Meskipun menderita misalnya, tetapi tetap
bereaksi secara wajar dan bisa membawa diri dalam situasi seperti itu, dan
menunjukan suatu kemampuan batin untuk
menerima keadaan. Jadi bukan nrimo
dalam arti kepasrahan terhadap nasib dalam ketidakberdayaan dan keputusasaan.
Kemudian sikap ikhlas merupakan suatu batin yang merelakan apa saja. Tidak
egois dan tidak rakus, tercermin dalam budi luhur dimana antara lain mempunyai
kesanggupan untuk bersedia melepaskan apa saja yang dimilikinya atau apa yang
merupakan kemampuan jika itu menjadi tuntutan tanggung jawab atau nasibnya.
Demikianlah sosok manusia Jawa
yang begitu komplet dengan tingkatan bahasa yang menonjol, seolah memberi kesan
harus berfikir dulu sebelum melangkah. Selalu mengambil sikap memenuhi
kewajiban untuk menjaga tatanan dan keselarasan, baik dengan dirinya sendiri
maupun dengan sesamanya dengan realitas yang dihadapai. Upacara ritual adat Jawa selalu
ditujukan sebagai ungkapan puji syukur masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Catatan Kaki
1. Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka 1985
2. Marbangun Hardjowirogo, Manusia Jawa, Jakarta: Idayu Press 1984
3. Geertz, Hildred, Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Press 1983
4. Frans Magnis Suseno, Etika Jawa, Jakarta: Gramedia 1984
5. Arifin Suryo N. Biografi Hartini Soekarno, Yogyakarta: Ombak 2009
Rabu, 09 Mei 2012
Raden Said
Kadilangu terletak tak jauh dari Demak Jawa Tengah. Kalau
anda datang dari arah Semarang, sebelum sampai ke Demak bisa mampir ke Kadilangu
dulu. Udara biasanya panas, tapi orang-orang yang datang mengalir tanpa putus
wajahnya begitu tulus. Memang di sanalah
terdapat makam yang “paling dikeramatkan di
Jawa Tengah”, yakni makam Sunan Kalijaga.
Raden Said/Sunan Kalijaga ini adalah putra
dari Tumenggung Wilatikta dengan Dewi Nawangrum,
Tumenggung Wilatikta adalah Bupati Tuban yang ke VIII beliau masih keturunan
dari Bupati Tuban yang ke II Raden Aryo Ronggolawe. Raden Said/Sunan Kalijaga
ini memiliki seorang adik perempuan dengan nama Dewi Rasawulan. Kelak Dewi Rasawulan
ini menikah dengan Raden Jaka Supa.
Raden Jaka Supa adalah keturunan Empu keraton
Majapahit, yaitu Ki Pitrang/Ki Supa Mandrangi /Pangeran Sedayu. Raden
Jaka Supa adalah arsitek keris Kyai Naga Sasra dan Keris
Kyai Sabuk Inten yang terkenal itu.
Sesungguhnya, Keris Kyai Naga Sasra
maupun Keris Kyai Sabuk Inten, adalah sebuah simbol semata.
Naga Sasra berasal dari bahasa sanskerta Nagha Sahasrara yang berarti Seribu
Naga. Ini melambangkan banyaknya kekuatan-kekuatan laten Majapahit yang masih
memiliki kekuatan militer dan masih memiliki pengaruh besar dipelosok Nusantara.
Sedangkan Sabuk Inten berarti Ikat Pinggang Intan
yang melambangkan para investor ekonomi lokal maupun mancanegara sebagai sumber
keuangan yang sangat menentukan perputaran roda perekonomian negara.
Raden Jaka Supa bukan orang sembarangan.
Ayahandanya, Ki Pitrang/Ki Supa Mandrangi, sangat berpengaruh didalam
negeri Majapahit dan mancanegara waktu Majapahit masih berdiri. Pekerjaannya
sebagai penyedia persenjataan militer negara, menjadikan Ki Pitrang banyak
memiliki relasi.
Apabila anda pernah dengar sebuah pedang kuno yang menjadi kebanggaan Dr. Sun Yat Sen, pendiri Taiwan yang bernama Pit-Kang, sesungguhnya pedang tersebut adalah hasil tempaan Ki Pitrang, sehingga namanya pun masih disebut Pitrang walaupun dalam logat China. Pedang ini masih disimpan di Taiwan. Pedang tersebut adalah hadiah Raja Majapahit kepada Kaisar Tiongkok. Dan tidak tahu bagaimana ceritanya, pedang kuno yang berasal dari Majapahit tersebut bisa dibawa lari oleh Dr. Sun Yat Sen ke Taiwan setelah Tiongkok berhasil dikuasai kaum komunis.
Kebesaran nama Ki Pitrang inilah, menjadikan
Raden Jaka Supa, sebagai anak laki-laki satu-satunya dari istri yang berasal
dari Majapahit ( seorang lagi, istri Ki Pitrang berasal dari Blambangan.
Dari istri Blambangan ini, beliau mempunyai seorang putra bernama Jaka Sura,
yang meninggal sewaktu berusia belia. Praktis, putra Ki Pitrang tinggal Raden
Jaka Supa. : Damar Shashangka), sangat disegani. Para sisa-sisa Bangsawan
Majapahit, yang masih memiliki pengaruh dalam bidang ekonomi maupun militer dan
masih banyak tersebar di beberapa pelosok Nusantara serta yang disimbolkan
dengan Keris Kyai Naga Sasra, ditambah para investor asing
yang disimbolkan dengan Keris Kyai Sabuk Inten, sangat-sangat
menghormati Raden Jaka Supa adik ipar dari
Raden Said. : Damar Shashangka).
Kelak Raden Jaka Supa dan Raden Said ini akan bahu-membahu
membantu berdirinya kerajaan Islam Demak Bintara beserta penerusnya dan
penyebaran agama Islam di tanah Jawa.
Raden Said kecil hidup terdidik dalam
lingkungan istana Bupati Tuban. Pada dasarnya beliau memang gandrung terhadap
ilmu dan selalu tanggap waskita. Kepiawaian, kecerdasan, dan kepekaan Raden
Said terhadap kandungan ilmu tuwa pun menjadi buah bibir para ulama sepuh,
pujanggah, dan pinisepuh istana Tuban. Adapun apa saja yang diajarkan para guru
maupun pinisepuh istana, mampu diselesaikan hingga tamat oleh Raden Said.
Selain berguru pada pinisepuh dan orang-orang yang didatangkan oleh
ayahhandanya, Raden Said juga berguru pada wong kang linuweh di luar istana.
Pergaulan Raden Said di luar istana, dan melihat
keadaan rakyat yang serba kesulitan. Situasi yang tidak menentu setelah perang perebutan
kekuasaan di Majapahit oleh Raden Patah dari Demak Bintara maupun Girindrawardhana
dari Keling, Kedhiri (tahun 1466-1473 M). Telah membuat kehidupan
rakyat Tuban menjadi sulit. Penarikan upeti sembarangan guna membiayai perang
melawan pemberontak dalam kerajaan Majapahit membuat rakyat semakin terjepit.
Kekurangan kebutuhan hidup menjadi pemandangan sehari-hari yang memilukan di
wilayah itu. Bagi Raden Said muda, kepasrahan tidaklah cukup untuk
mengatasi kesulitan hidup di masyarakat kecil, apalagi banyak munculnya kriminalitas
yang meresahkan masyarakat. Ia harus bertindak walaupun itu perbuatan yang
tercela dan ia harus menanggung resikonya, diusir dari istana karena aksi nekat
mencuri bahan makanan yang disimpan di gudang istana, yang dapat digagalkan oleh petugas. Segala aksi
begal di luar istana ia jalani demi membantu rakyat kecil. Mulai merampok
upeti, menjarah harta pejabat-pejabat kecil desa, dan membagikanya kepada
rakyat miskin. Selain merampok ia juga menyadarkan perampok-perampok lainnya
agar tidak menggangu rakyat miskin. Oleh karena itu ia mendapat gelar si maling
aguna atau berandal Lokajaya, atau perampok budiman. Ia sangat di segani oleh perampok
lainnya, selalu berempati terhadap kaum tak berpunya. Walau dalam hati Raden
Said menyadari mungkin itu semua salah dan dilarang menurut ilmu yang ia
pelajari dari guru-gurunya di istana.
Ketika berandal Lokajaya menjadi semakin menjadi
dan menguasai wilayah hutan Glagah Wangi, tak jauh dari kadipaten Demak yang
baru berdiri. Ia di datangi oleh ulama besar anak sulung dari Sunan Ampel Denta
yaitu Maulana Makdum Ibrahim/Sunan Bonang yang sedang dalam perjalanan
menuju ke Demak Bintara. Menurut silsilah dari keturunan Ronggolawe/Bupati Tuban
II, Raden Aryo Adikoro Bupati Tuban VI, adalah cicit dari Ronggolawe ini mempunyai dua putra, Raden Ayu Aryo Tejo dan Kyai Ageng Graseh. Raden Ayu Aryo Tejo (putri)
menikah dengan Syeh Ngabdurahman (putra) dari Syeh Jali/Kyai Makam Dawa/Ngalimurtala
dari Gresik (saudara dari Sunan Ampel Denta). Syeh Ngabdurahman menjadi Bupati Tuban
yang ke VII dengan gelar Raden Aryo Tejo. Dan Raden Aryo Tejo ini digantikan oleh putranya yaitu Raden Aryo Wilantikta
atau ayah dari Raden Said, menjadi Bupati Tuban yang ke VIII. Jadi Raden Said masih kerabat
dekat dengan Syeh Maulana Makdum Ibrahim/Sunan Bonang.
Berbagai kisah telah diceritakan tentang
pertemuan antara Raden Said dengan Sunan Bonang. Akhirnya Raden Said menginsafi perbuatannya dan beliau diangkat
oleh Sunan Bonang menjadi muridnya setelah diberi wejangan (ilmu) tentang wawasan berketuhanan
dan dinamika masyarakat di masa itu. Tugas utama Raden Said adalah “Njogo kali”,
atau menjaga aliran kepercayaan di tengah masyarakat yang sudah heterogen.
Tongkat perlambang petunjuk jalan yang diharapkan kelak masyarakat tidak akan
lagi tersesat, dan tetap memegang prinsip-prinsip Islami (Al Quran dan Hadist
Nabi). Walau cara berdakwah nantinya akan menghadapi budaya lokal yang telah
bercokol kuat, diharapkan tidak menimbulkan konflik yang berlarut-larut. “Sungai
akan selalu mengalir, sedang noda yang menempel akan hilang dengan sendirinya”
ujar Sunan Bonang kepada Sunan Kalijaga. Sepeninggal Sunan Bonang, Raden Said
pun diangkat menjadi Sunan dengan gelar Kalijaga, seperti maksud dan tujuan,
yang telah diuraikan.
Sekilas memang tampak ada sisi kebadungan dari Raden
Said ini, yang justru menjadi orisinil dan sangat penting bagi kelanjutan
penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Selain itu juga Raden Said merupakan wali
yang sangat vital, sebagai penghubung legitimasi kekuasaan dari Majapahit ke Mataram Hadiningrat. Perseteruan antara Sunan Kudus dan Giri Kedaton dalam penerus
tahta kerajaan Demak sepeninggal Sultan Trenggana akhirnya dapat diredam dengan
kemenangan dari murid Sunan Kalijaga, Hadiwijaya (menantu Sultan Trenggana)
melawan Arya Penangsang (keponakan Sultan Trenggana) jago dari Sunan Kudus.
Dengan bantuan dari Ki Ageng Pamanahan beserta putranya Panembahan Senopati
akhirnya Aryo Penangsang gugur di medan perang pada tahun 1549 M. Dengan naiknya Hadiwijaya (atas
restu Sunan Giri Prapen) sebagai Sultan di Pajang pengaruh Kudus sudah mulai berangsur-angsur
surut. Pengaruh besar Sunan Kalijaga ini tak tepas juga dari strategi Sultan Trenggana
yang menikahkan Raden Said/Sunan Kalijaga dengan putri orang suci dari tlatah kulon Sunan
Gunung Jati, meminjam wibawa (istilahnya) dari Sunan Gunung Jati untuk
menandingi wibawa Sunan Kudus di lingkungan kerajaan Demak Bintara.
Setelah kerajaan Demak jatuh, penerusnya Hadiwijaya (Pajang)
tidak memiliki pengganti yang kuat di bidang pemerintahan. Sunan Kalijaga menunjuk
Panembahan Senopati (Sutawijaya) sebagai penerus dari Sultan Hadiwijaya dan membujuk
anak dari Hadiwijaya yang juga salah satu muridnya yaitu, Sunan Benawa untuk meninggalkan
urusan duniawi dan memilih menjadi ulama, dengan menumbuh suburkan
pesantren-pesantren di tanah Jawa. Sunan Benawa ini patut untuk dijuluki bapak
pesantren di Indonesia.
Pemberontakan Ki Ageng Pengging (ayah Hadiwijaya)
terhadap Dewan Walisanga Demak. (intervensi dari ajaran Syeh Lemah Abang yang
juga guru dari Ki Ageng Pengging). Dapat diselesaikan walau dengan berat hati. Ki
Ageng Pengging/Kebo Kenanga dan para pengikut Syeh Lemah Abang harus
mengakhiri (hidupnya) jika menolak ultimatum yang diberikan Walisanga untuk
bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Walaupun pengikut Syeh Siti Jenar
sudah surut namun pokok-pokok ajaran(nya) masih menjadi bahan perdebatan hingga
saat ini.
Dalam berkompromi dengan para Wali lainnya,
terutama yang paling keras perlawanan dari Sunan Kudus maupun Sunan Giri. Sunan
kalijaga yang sangat kreatif, mengubah boneka wayang yang semula tiga dimensi menjadi
dua dimensi (wayang kulit) supaya tidak seperti patung (yang di Saudi Arabia hal itu
biasa dianggap berhala). Beserta sarananya, keber (kain putih), debog (batang
pisang), kotak kayu, yang semuanya memiliki makna tersendiri. Dalam pembangunan Masjid
Demak, Sunan Kalijaga pun turut berperan mendirikan
tiang penyangga, yang berbeda dengan tiang-tiang lainnya. Karena tiang tersebut
bukanlah terbuat dari bahan (kayu) yang utuh, melainkan kayu yang
sudah disambung-sambung atau Saka Tatal. hingga saat ini Saka Tatal masih kuat
menyangga Masjid Demak. Saka Tatal mungkin makna/simbol dari penyebaran agama Islam di tanah Jawa.
Upaya yang telah dilakukan oleh Raden Said/Sunan
Kalijaga dalam penyebaran agama Islam baik kultural maupun struktural telah
berhasil dengan baik, setidaknya mampu menghindari konflik dengan budaya lama yang
telah bercokol kuat di Bumi Nusantara
Catatan kaki
1. Sembilan
Wali dan Siti Senar, SGA 2007, Hlm 119-131.
2. Sunan
Kalijaga, Wawan Susetya, Diva Press 2009, Hlm 10-13
3. Ki
Ageng Mangir, Sugeng Pramana, Gelombang Pasang 2006, Hlm 213-220
4. Damar
Shashangka, Blog,
Jumat, 27 April 2012
Raden Paku
Di awal abad 14 M,
Kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu Menak Sembuyu, konon masih salah
seorang keturunan Prabu Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit. Raja dan rakyatnya
memeluk agama Hindu dan ada sebagian yang memeluk agama Budha.
Suatu ketika, kerajaan
terkena wabah penyakit. Akibat wabah tersebut banyak penduduk yang jatuh sakit
dan tewas. Salah satu yang sakit adalah Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak
Sembuyu. Sakitnya sang putri sudah berminggu-minggu, raja khawatir keadaan putrinya
kian hari kian bertambah parah. Sudah menjadi tradisi raja-raja di Jawa, jika keluarga
raja mengalami masalah, sering diadakan sayembara dengan imbalan tertentu bagi
yang bisa menyelasaikannya.
Patih Bajul Sangara
mendapat tugas untuk menyelenggarakan sayembara tersebut, atas saran Rsi
Kandabaya seorang petapa yang biasanya tinggal di daerah pegunungan memberi
petunjuk tentang orang sakti dari negeri seberang yang sedang menyebarkan agama
baru, Orang tersebut bernama Syekh Maulana Ishak. Syekh Maulana Ishak konon adalah
teman seperjuangan Syekh Maulana Malik Ibrahim (Ayahanda Sunan Ampel Denta) dalam
menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Kanjeng Maulana Ishak selain pintar
berdakwah juga pandai di bidang ilmu ketabiban, atas usaha sungguh-sungguh dan
karomah Allah sang putri Dewi Sekardadu akhirnya sembuh dari sakitnya. Pegebluk
juga lenyap di wilayah Blambangan. Sesuai janji Raja maka Syekh Maulana Ishak
dikawinkan dengan Dewi Sekardadu. Dan akan diberi kedudukan sebagai Adipati
untuk menguasai sebagian wilayah Blambangan.
Prastawa pernikahan
tersebut menjadi catatan tersendiri bagi rakyat Blambangan yang mayoritas beragama
Hindu. Karena upacara pernikahan sangat sederhana dan mudah dan sebelumnya
tidak pernah terjadi dalam adat Blambangan. Babad Tanah Jawi mengisahkan,
menjelang upacara pernikahan terjadi ketegangan antara Kanjeng Maulana Ishak dengan
pihak istana. Hal ini berasal dari soal makanan. Sesuai ajaran Islam, Kanjeng
Maulana Ishak melarang semua makanan yang berasal dari daging babi dan juga
jenis daging lain (daging anjing) misalnya, yang diharamkan oleh agama.
Sementara pesta tanpa daging babi bagi rakyat Blambangan dianggap tidak sah.
Keributan itu akhirnya biasa diselesaikan “sanajan mekaten iseh” mengganjal di
hati Sang Prabu. Upacara tersebut akhirnya berhasil sesuai adat dan tata cara
agama baru di negeri Blambangan. Sikap Maulana Ishak yang rendah hati dan
ilmunya yang luas membuat rakyat Blambangan banyak yang terpikat. Sehingga
semakin hari banyak yang ikut dan berguru pada Kanjeng Maulana Ishak.
Hal ini tentunya meresahkan hati Sang Prabu, karena merongrong wibawa kerohanian, istana merasa tersaingi oleh ajaran agama baru ini. Untuk itu Patih Bajul Sangara disuruh membereskan usaha-usaha penyebaran agama oleh Kanjeng Maulana Ishak. Dengan segala tipu daya dan teror dilakukan untuk mengusir Kanjeng Maulana Ishak dari tlatah Blambangan. Akhirnya Kanjeng Maulana Ishak menyingkir, setelah berijtihad dan mendapat petunjuk dari Allah. Mungkin belum saatnya bagi rakyat Blambangan berbondong-bondong memeluk agama Islam. Tapi saatnya nanti akan menjadi tlatah Islam yang menonjol.
Sebelum meninggalkan Blambangan
Kanjeng Maulana Ishak pamit dulu kepada istrinya yang lagi hamil, kalau lahir
nantinya laki-laki namakan Raden Paku bila perempuan terserah dinamakan apa.
Kemudian Kanjeng Maulana Ishak pergi ke Pasai, sebelumnya singgah di Ampel dulu.
Sepeninggal Kanjeng
Maulana Ishak, Patih Bajul Sangara yang juga
menaksir Sang Putri menghasut Prabu Menak Sembuyu supaya membuang bayi yang baru
dilahirkan oleh Dewi Sekardadu, karena dikawatirkan akan membawa bencana bagi kawula
Blambangan. Dengan berat hati Sang Prabu akhirnya melarung bayi tampan ini
(Raden Paku) atau cucunya ke laut.
Alkisah bayi ini akhirnya
ditemukan oleh nahkoda kapal dalam sebuah peti terbuka lengkap (mungkin) dengan peralatan
bayi dan nama yg tertera pada benda tsb. Dan dibawa bersama kapal yang sedang
berlayar menuju pelabuhan Gresik.
Setibanya di Gresik ia diserahkan pada sang pemilik kapal yaitu Nyai Gede
Pinatih. Nyai Gede Pinatih ini pengusaha sekaligus janda dari Patih Samboja, bekas
abdi dalem istana Blambangan juga yang diusir raja, lalu pindah ke Kerajaan Majapahit
(saat memasuki jaman kemunduran), dan diutus kerajaan untuk tugas di Gresik.(1).
Bayi ini segara diasuh jadi anak angkat dan diberi tetenger oleh Nyai Gede
dengan nama tambahan Joko Samudro.
Ketika berumur 11 tahun,
Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samodra atau Raden Paku untuk berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan
Ampel di Surabaya. Sewaktu mondok di pesantren Ampeldenta, Raden Paku sangat
akrab bersahabat dengan putra Raden Rahmat yang bernama Raden Makdum
Ibrahim(Sunan Bonang).
Ketika Raden Paku sudah
beranjak dewasa Sunan Ampel memberitahukan perihal tentang siapa dirinya, dan
menyuruhnya segera menemui ayahandanya di Pasai yaitu Syekh Maulana Ishak atau
Syeh Awwalul Islam. Raden Paku berangkat ke Pasai bersama sahabat karibnya
Raden Makdum Ibrahim untuk berguru dan menemui ayahandanya.
Syekh Maulana Ishak
terharu menerima kedatangan dua pemuda dari tanah jawa ini. Yang salah satunya
adalah putranya sendiri. Kelak setelah menimba ilmu di Pasai, Syekh Maulana
Ishak memberi tugas kepada dua pemuda ini untuk menyebarkan Islam di seluruh
pelosok Jawa. Untuk Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) harus menyebarkan agama Islam
di pedalaman tanah Jawa, sedang putranya Si Raden Paku(Sunan Giri I) menyebarkan Islam di
pesisir pantai Jawa dan wilayah timur pulau Jawa.
Raden Paku memiliki dua
istri, istri pertama putri dari Sunan Ampel Denta yaitu Dewi Murtasiah. Yang
kedua Dewi Wardah putri bangsawan Majapahit Ki Ageng Supa Bungkul. Kelak peran
serta Raden Paku atau yang terkenal dengan sebutan Sunan Giri I akan sangat
menentukan bagi berdirinya kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak dan penyebaran
agama Islam di wilayah Indonesia Timur. Dan penerusnya, Sunan Dalem (Giri II)
berperang di pihak Demak menyebarkan Islam di pelosok Jawa, menyerang Kadipaten
Sengguruh(Malang/Pasuruan) yang enggan mengakui kekuasaan Islam Demak. Juga
penerus lainnya Sunan Prapen (Giri IV) menggantikan posisi kakaknya Sunan
Giri III yang gugur dalam ekspedisi Sultan Trenggana di Panarukan.
Ada kebijakan krusial dari Giri Kedaton di jaman Sunan Prapen masih hidup yaitu, mengangkat Hadiwijaya (menantu Sultan Trenggana) yang berkedudukan Di Pajang, sebagai penerus kesultanan Islam Demak yang sah. Hal ini tentunya merupakan salah satu bentuk dukungan moral setelah kematian Sultan Trenggana dan keributan di Kerajaan Islam yang masih muda ini. Hal yang menjadikan krusial karena di masa itu banyak Adipati-adipati di Jawa Timur (bekas kerajaan Majapahit) yang masih enggan mengakui kekuasaan ekspansif kerajaan Islam dari Jawa Tengah ini (Mataram Hadingrat). Sehingga hampir terjadi pertempuran besar antara Senopati Mataram Hadiningrat (Sutawijaya) beserta bregadenya melawan bregade dari persatuan Adipati Jawa Timur yang dipimpin Adipati Surabaya (Kanjeng Panembahan Ratu Jayalengkara) yang masih keturunan dari Sunan Ampel di tahun 1589. Tetapi akhirnya dapat di damaikan oleh Kanjeng Sunan Giri Prapen, sehingga Bregade Mataram Hadiningrat yang dipimpin Senopati Sutawijaya tidak sampai berekspansi ke pelosok Jawa Timur. Yang kelak ekspansi ini akan diteruskan oleh cucunya Kanjeng Sultan Agung. Di masa Sultan Agung inilah kewibawaan kerohanian Giri Kedaton sudah mulai menurun, disebabkan kerena Sultan Agung enggan melibatkan trah dari Giri Kedaton di Kerajaan Islam Mataram Hadiningrat.
Catatan Kaki
Senin, 23 April 2012
Kamis, 19 April 2012
Kebudayaan di Jawa sebelum pengaruh Islam masuk
J.M.W. Bakker mengatakan:
“Agama Hindu murni tidak pernah menjadi milik bangsa Indonesia
. . . hanya unsur-unsur, bukan asasi sebagai Mahabharata dan Ramayana menjadi popular
dan disesuaikan dengan pandangan setempat. Hinduisme tenggelam dalam lautan
pemikiran asli, hanya dimanfaatkan untuk lebih menegaskan pandangan hidup Indonesia
dimana waktu itu masih samar-samar.”
Karena kebudayaan Jawa yang dihasilkan pada masa Hindu-Budha
bersifat terbuka untuk menerima agama apapun, dengan pemahaman bahwa semua
agama itu baik dan benar, yang penting pengalaman setiap agama harus ditunjukan
bagi kepentingan dan kebesaran masyarakat, agama ageming aji, menurut ungkapan
Wedhatama, maka sangatlah wajar jika kebudayaan Jawa sangat bersifat sinkretis
(bersifat momot atau memuat), dimana setiap agama diterima dengan sikap terbuka
dan tidak memedulikan benar salahnya agama tersebut. Agama Hindu-Budha di negeri
asalnya justru bermusuhan, sedangkan di Jawa dapat dipersatukan menjadi konsep
agama Syiwa-Budha.
Ciri lain tampak menonjol dalam kebudayaan Jawa adalah sangat
bersifat teokratis. Pengeramatan raja sebagai pembawa esensi kedewataan di dunia
adalah salah satu bukti teokratis ini. Dalam hal ini Onghokham mengatakan:
“Dalam kerajaan tradisional, agama dijadikan bentuk
legimitasi. dalam jaman Hindu-Jawa diperkenalkan konsep dewa-raja, atau raja
titising dewa. Ini berarti bahwa raja harus tunduk pada kedudukan raja, untuk
mencapai kemurnian di dunia dan akherat. Agama diintegrasikan ke dalam
kepentingan kerajaan. Kebudayaan berkisar pada raja, tahta dan keraton. Berbagai
tulisan menyatakan, kebesaran raja serta kekeramatannya menjadi satu kesatuan
yang final. Memang raja dan kehidupan keraton adalah puncak peradapan kerajaan
masa itu.”
Seperti kebudayaan di Jaman Majapahit menurut Clifford Geertz
, bersendikan pada peradapan agraris yang bersifat religius dan sana masih
dominan, kombinasi yang elegan antara sikap tawakal dan seremonial dengan
hirakhisnya akan dapat berlangsung terus. Seperti yang digambarkan oleh Empu
Prapanca dalam kitab Negarakertagama.
Masuknya pengaruh agama Hindu-Budha serta kebudayaan Hindia
tidak dengan serta merta membongkar kepercayaan animisme-dinamisme sebagai
kepercayaan asli yang telah menyuburkan kepercayaan serba magis dan animis
dengan cerita orang-orang sakti setengah dewa, juga mantra-mantra-berupa
rumusan kata-yang dipandang magis. Karena dipandang bahwa kepercayaan mitologi
dan cerita- cerita dewa-dewa kekuatan alam sesuai dengan konsep ruh cikal bakal
yang baureksa, lautan, gunung, ataupun
daerah-daerah tertentu.
Kemunculan berbagai macam sastra, terutama yang berkaitan
dengan cerita wayang, ikut mendorong pertumbuhan dan perkembangan berbagai
cabang kesenian yang sangat halus dan indah. Seni merupakan hasil kebudayaan
yang amat berharga untuk mendidik dan memperindah kehidupan manusia. Dimana seni
pertunjukan wayang dalam bentuk pentas dapat menjadi sarana yang efektif dalam
memasyarakatkan nilai-nilai luhur dalam khazanah kebudayaan Jawa.
Catatan kaki :
1. Dr. Simuh, Sufisme Jawa,YBB,1995, hlm. 120
2. J.W.M. Bakker, Agama Asli Indonesia, hlm. 10
3. Onghokham, Rakyat dan Negara, Jakarta, 1969, hlm. 39-94
4. C. Geertz, Islam Yang Saya Amati, Jakarta, hlm. 147
Senin, 16 April 2012
Perlawanan dari kubu yang lebih ortodok
Pada abad ke-17 ada 4 ulama sufi yang terkenal di Aceh yang amat besar sumbangannya bagi pemikiran agama dan kesusastraan melayu, yakni Hamzah al-Fansuri, Syamsudin Pasai, Abdul Ar-Rauf Singkel, dan Nuruddin Ar-Raniri. Hari kelahiran dan wafatnya Hamzah al-Fansuri tidak diketahui. Yang jelas dia adalah guru Syamsudin Pasai (wafat 1630 M). Hamzah al-Fansuri banyak terpengaruh Ibnu Arabi dan Abdul Karim Al-Jilli yang cenderung ke paham pantheisme-monoisisme, yaitu suatu faham yang memandang bahwa alam semesta ini merupakan aspek lahir atau tajali (manifestasi, pengejawantahan) dari hakikat tunggal, yakni Tuhan.
Sepeninggal Hamzah al -Fansuri, muridnya Syamsuddin Pasai menjadi penasihat raja atau Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M.) yang sangat dihormati. Dengan bantuan sultan, ajaran Hamzah al-Fansuri dan Syamsudin boleh dikatakan menjadi paham kerajaan Aceh masa itu, dan mengungguli ajaran-ajaran lain. Syamsudin Pasai tampak mengembangkan ajaran atau konsep martabat tujuh dari ajaran kitab Tufah al-Mursalah ila Rubi an-Nabi karya Muhammad bin Fadillah, seorang ulama sufi Gujarat yang wafat tahun 1620 M. konsep martabat tujuh memang merupakan pengembangan dari tajali dari Ibnu Arabi. Jadi, dasar pikiran ini memang mengarah ke paham union-mistik(Manunggaling Kawula-Gusti , kesatuan manusia dengan Tuhan). Inti konsep martabat tujuh adalah ajaran bahwa alam semesta , termasuk didalamnya manusia, merupakan tajjali (penampakan keluar) dari hakikat Tuhan yang bersifat mutlak. Konsepsi itu sebanyak tujuh martabat, yakni martabat abadiyah, wahdah, wahidiyah, alam arwah, alam mitsal, alam ajsam, dan alam insani (alam manusiawi). Syamsudin Pasai yang terpengaruh oleh paham Hamzah al-Fansuri yang berpaham pantheisme, di dalam bukunya Jaubar al-Haqa'iq berusaha mengembangkan konsep martabat tujuh dari kitab Tuhfah tersebut ke arah paham pantheisme. Atas dukungan Sultan Iskandar Muda, paham Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin Pasai akhirnya berkembang dan meluas, terutama di Aceh, dan pengaruhnya merembes dalam kepustakaan Jawa hingga abad ke-19 (dalam serat Centhini, Wirid Hidayah Jati, dan sebagainya). Di Jawa paham martabat tujuh yang cenderung pantheistis ini hidup subur atas dukungan raja-raja Mataram.
Di Aceh paham
Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin Pasai yang bersifat pantheistis ini
segera mendapat perlawanan keras dari seorang ulama sufi besar penganut Tarekat
Rifa’iyah, yakni Nuruddin Ar-Raniri, seorang Indo-Arab yang berasal dari Rader
(Gujarat) yang fasih bercakap menulis dalam bahasa melayu. Ar-Raniri yang
berada di Aceh dari tahun 1673 M. sampai 1644 M. berusaha membersihkan
pengalaman tasawuf dari paham pantheisme yang dipandang menyimpang dari ajaran
martabat tujuh yang sebenarnya. Dalam bukunya Hujjatul Shiddiq li Daf’I al-Zindiq,
Ar-Raniri berusaha menafsirkan ajaran
martabat tujuh kearah paham yang lebih ortodok, dan mencela penafsiran Syamsuddin
Pasai dan paham Hamzah al-Fansuri sebagai faham Wujudiyah yang sesat (zindiq dan
bid’ah). Sesudah Sultan Iskandar Muda wafat dan Sultan Iskandar Tsani yang naik
tahta (1637-1641 M.), ternyata segera mendukung paham Ar-Raniri yang lebih
ortodoks, sehingga Ar-Raniri bisa
bertindak keras dengan dukungan Sultan. Banyak buku Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin
Pasai dibinasakan, serta pengikut-pengikut Wujudiyah dikejar-kejar. Sejak masa
itu dapat dikatakan tamatlah riwayat paham pantheisme dalam kalangan tasawuf
pesantren dari bumi Sumatra.
Catatan kaki :
1. Dr Simuh, Sufisme Jawa, YBB, 1995 hlm. 53
2. Hamka, Perkembangan Tasawuf dari abad ke abad, Jakarta, 1960, hlm.159-165
3. Ruyani, Roestiyah Notokusumo, dan Marihartanto, Studi kepustakaan tentang identitas Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Jakarta, 1982, hlm. 11-16
Langganan:
Postingan
(
Atom
)